PERHATIAN!

Perhatian! Blog ini isinya karya fiksi. Semua posting di blog ini adalah hasil rekaan, jika ada kesamaan cerita, nama tokoh dan tempat adalah kesamaan yang tidak disengaja.

Senin, 26 November 2012

Tea, Coffee, and Sugar (synopsis)


Tea, coffee, and sugar are the things introduced by my parents. It has been many years that I always see my father drinks tea in the evening and my mother drinks coffee in the midday. When I was a child, mom used to make two cup of tea. One for dad, another for me. At that time, mom also introduced her taste of tea, including intensity of the flavor and measurement of sugar. After that introduction had transformed into habituation, another introduction happened. Introduction to coffee happened when I have been ready for more caffeine. In the same way with tea, mom’s taste of coffee stuck on my tongue.

Mom always adds four teaspoons of sugar to a cup of tea. Mom will say it’s less sweet, if she tastes a cup of tea with three teaspoons of sugar. It might be not her own taste. Her parents probably also habituated that. Until she moved to her new house, she still brought her standard of sweet. Even until now, she always serves very sweet tea to a guest. It could be acceptable in Yogyakarta. Her neighbors and her friends perhaps have the same standard of sweet. Contrary to them, our neighbors in Jakarta have various tastes. Few neighbors can accept very sweet tea, the others cannot.

Contrary to mom, dad has changed his taste of tea. Mom told me a story that granny used to serve light and less sugar tea (even sometimes without sugar) and dad liked it. Then, he has new family and he didn’t mind to start drinking the opposite taste of tea.
Even when mom is not at home, dad asks me to make dark and sugary tea. I could not understand why he could change his taste. He was born in Tasikmalaya and he grew up in Ciamis. He had tasted light and less sugar tea for many years. How could he change his taste?

Another surprise came when I read granny’s full name on dad’s file. Granny’s name is Raden Roro Sri Kiswati. Granny is Javanese too. Dad also told me that grandpa is also Javanese. Grandpa married granny, moved to Tasikmalaya, and moved again to Ciamis. I guess Javanese woman who lived in Solo was always surrounded by sugary food and drink. It means granny changed her taste since she moved.

That is my family. How about me? Do I have a change of taste? Let’s take a step back. Although mom’s taste stuck on my tongue when I was a child, many places outside my home offered instant tea in the bottle. Every time I ate in a restaurant with my family, I ordered Teh Botol Sostro. It became my favorite drink for several years. Not only in restaurant but also in my friend’s house I drank The Botol Sosro. When I was in Junior High School, there are many group home works. My friend’s parent probably didn’t have time to serve ten cup of tea and serving instant tea could be easier. I saw The Botol Sosro everywhere. I drank it when I went back from school because I used to be exhausted on my way to home. It was also habituation. I also have a change of taste.

The change is not over. I went to Sumedang to get higher education. I cannot buy The Botol Sosro every day, it’s expensive. I go back to loose leaf tea with three spoons of sugar. I do the same measurement of sugar to my cup of coffee until I met my best friend who doesn’t like sugary coffee. My taste changes again.

I drink a cup of tea and a cup of coffee every day. I have my own taste now. Tomorrow, it may be different.

Sabtu, 10 November 2012

Teman Terbaik


“Kamu punya sahabat?”
“Punya, ini fotonya.”
“Loh, perasaan dia nggak sama kamu terus, dia kan supel gitu. Kalo di kelas juga duduknya nggak sama kamu terus. Oh, kalo di luar kelas dia sama kamu terus ya?”
“Nggak juga.”
“Lah, kalo sering pisah mah bukan sahabat lagi dong? Sahabat kan harusnya punya ketertarikan yang sama, terus bareng-bareng terus gitu.”
“Aku nggak tau asal kata ‘sahabat’ itu dari mana, dan arti harfiahnya apa. Aku lebih suka kata best friend daripada sahabat. Best friend berarti teman terbaik. Dan kayaknya buat ngeklaim kalo orang itu teman terbaik, aku nggak perlu konfirmasi dulu. Itu kan penilaian subyektif.”
“Emang kamu nggak sakit hati kalo dia bilang kamu cuma kenalan dia atau Cuma temen sekelas aja?”
“Sakit hati dikit sih paling, tapi ya nggak apa-apa lah, toh itu hak dia buat berpendapat.”
“Iya sih ya.”

Selasa, 30 Oktober 2012

Ojeg Dadakan (Lagi)

Kali ini gue bakalan cerita di blog tanpa teknik narasi cerpen. Gue mau cerita ke lo --iya lo yang lagi baca teks ini-- sebagai orang, mungkin temen, yang kebetulan atau sengaja baca blog gue.

Gue heran campur seneng, ternyata ada, bahkan lumayan agak banyak juga orang yang baca blog gue, padahal dia nggak follow blog gue. Mungkin yang nggak follow blog gue tapi baca blog gue itu dia buka twitter gue atau FB gue kali ya, terus ngeklik link ini, mungkin mereka atau lo agak kepo kali ya. Hehehe, bercanda kok. Kalo yang follow blog gue, mungkin liat di dasbor ada postingan baru, jadi pengen baca, terus baca deh.

Stop, gue tau pikiran lo. "Ini kok nggak nyambung sama judul sih?" "Jadi mana cerita tentang ojegnya?" Haha gitu kan yang di pikiran lo? Terus lo ngomong lagi dalem hati, "Sotoy amat!".

Oke mulai deh ceritanya. Kali ini gue nggak salah ngira pria biasa sebagai tukang ojeg kok, tenang. Dan gue mau cerita sesuatu yang mengandung hikmah (bukan Hikmah temen lo), moral value istilah lainnya mah. Ciyeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee, Jenni bijak ciyeeeeeeeeeeeee. (Eh, ini namanya belum mulai cerita ya? Di paragraf selanjutnya gue mulai deh, janji.)

Jadi waktu itu tu malem-malem, abis ujan, gue mau ke klinik Padjadjaran. Dan malem itu nggak ada ojeg, tapi nggak becek. Dan kebetulan, lo tau apa? Pasti tau? Baca judulnya! Ada bapak-bapak naik motor muncul kira-kira satu sampe dua menit setelah gue celingukan cari ojeg.

Gue nggak mau terlalu husnuzaan kalo itu ojeg sambil nanya, "A, Ojeg ya?". Gue sering salah ngira soalnya. Tapi gue tetep berharap bapak-bapak itu ngacungin telunjuk kirinya sambil bilang "Ojeg Neng?". Ok, gue mikir seketika, gimana caranya tu bapak-bapak mau nanyain atau sekedar negor gue. Tu motor jaraknya 20 meter dan dia lagi jalan ke arah gue. Gue liatin terus aja tuh motor, sambil maju mundurin kepala seolah lagi nyari orang atau nunggu orang.

Dan...binggo! Tu bapak-bapak berenti terus nanya gini, "Dari mana Neng?"
"Saya mau keluar Pak, makanya nyari ojeg tapi nggak ada."
"Mau ke mana gitu?"
"Mau ke gerbang, Pak."
"Oh, hayu atuh sama saya aja."
"Lah, nggak apa-apa Pak?"
"Nggak apa-apa lah, ngojek sekali-kali."

Alhamdulillaah, bapak ini ngebantu banget. Dan gue beruntung, dapet ojeg dan nggak harus nunggu lama. Malem gini, apa lagi abis ujan, biasanya nggak akan ada ojeg, dan jalanan pasti sepi. Padahal gue harus ke klinik, dan kalo bener-bener nggak ada ojeg, gue harus jalan kaki. Beruntung lah gue malem itu.

Yaudah, pas udah nyampe, gue kasih dia uang 5000. Biasanya dari wisma Pedca ke gerbang itu cuma 3000, tapi gue emang pengen ngasih segitu. Terus bapaknya bilang ke satpam gerbang, "Mang, aya tukeran receh teu?"
"Teu aya." Jawab satpam gerbang.
"Yaudah pak nggak usah dikembaliin." Gue nyaut.
"Nggak usah?"
"Nggak usah."
"Neng mau sampe sini aja, apa mau keluar, mau ke mana gitu? Kosan temen?"
"Nggak pak, saya mau ke klinik, tapi mau ke ATM dulu."
"Neng teh di Bale?"
"Bukan Pak, wisma Pedca."
"O, yaudah ya Neng ya."
"Iya Pak."

Sebenernya gue mau ke klinik setelah ke ATM, tapi uang gue di dompet tinggal 5.000 coy. Kasian tu bapak-bapak, sampe klinik padjadjaran cuma gue kasih 5.000. Nanti nggak bisa ngasih uang lebih. Padahal gue dapet keberuntungan, masa nggak memberi tanda terima kasih. Lagi pula bapak ini satpam, jadi dia harus lanjut patroli. (Gue nyadar dia satpam setelah liat celana sama sepatu boat nya, pas gue udah turun dari motor.)

Ok, gue mikir dulu, mau jalan kaki jauh menanjak sampe klinik, atau jalan kaki dikit sampe pangkalan ojeg di sebelah tempat jualan koran? Mending jalan ke pangkalan ojeg deh, soalnya badan lagi nggak fit, nanti pasti capek banget kalo jalan kaki sampe klinik.

Gue sampe di pangkalan ojeg dan banyak dari mereka yang baru turun dari ojeg. Itu artinya, mereka sibuk nganter jemput penumpang. Berarti kalo ngasih 50.000 ada kembalinya lah ya.

Ada bapak-bapak nanya, "Ojeg Neng?"
"Iya Pak."
Dan gue pun naik ke motor. Dan nggak sampe lima menit, nyampe.

"Nih Pak."
"Waduh Neng, nggak ada uang kecil?"
"Nggak ada pak?"
"Uang untuk ngembaliin duit Eneng kurang nih, cuma ada 30.000."
"Saya juga nggak ada uang lagi pak."
"Yah, yaudahlaah enggak apa-apa."
Gue pun shock! Masa ada tukan ojeg --beneran ojeg-- sebaik ini? Gue pun nyari di tas, kali aja ada duit receh.
"Eh ini ada Pak, tapi cuma 2000."
"Yaudah Neng nggak apa-apa."
"Makasih ya Pak."

Ya ampun bapak ini baik banget. Kalo satpam atau orang biasa yang jadi ojeg dadakan wajar lah ya baik, niat awal mereka nganterin gue kan nolong, bukan cari uang. Nah ini, tukang ojeg beneran yang niatnya emang cari uang, bisa berubah seketika jadi nolong.

Semoga bapak tukang ojeg ini masuk surga. Aamiin.

Nah, cerita gue udah selesai. Lo dapet hikmah nggak? Bukan Hikmah temen lo ya. Pesan moral. Dapet nggak? Apa pesan moralnya?"

A Cup of Tea


That evening, mom and dad just arrived to grandpa’s house in Banjarsari, Ciamis. She sat after shaking everybody’s hand.
“How is your way? Are you stuck in traffic jam?” Grandpa asked mom.
“No, fortunately the way was not crowded.”
“Thank God. Are you healthy?”
“Yes, I’m healthy. Alhamdulillah.”
“Alhamdulillah, we have to be worry for your trip. Are your parents healthy?”
“Yes, they are also healthy.”

After that opening conversation, granny came bringing some cups of tea.
“Drink it, Yum, long trip makes you exhausted.”
“Oh, thank you.”
“Are you still in college? I heard you are five years younger than Tonny.”
“Yes, I’m in Faculty of Law.”
“UII, right?”
“Yes. May I drink the tea?”
“Sure.”

Mom took the cup slowly and swallowed the tea quietly. Mom put the cup and leaned back. She looked at the floor, breathed out and swallowed her saliva. Suddenly, everybody had no words to say so they were thinking about words to say. It felt very long when mom was looking at the floor. And still, no word, quiet.

“Mom, have I tell you story about Yuma’s reading of poem?”
“I think no. What kind of poem?”
“Poem about how much she loves me.”
“Oh, hahaha. And then?”
“I never wrote or read any poem, actually.” Mom interrupted.
“Hahaha. He’s a good liar. I guess you know that.”
Mom smiled. Undeniably, her smile couldn’t hide her teary eyes.

After some conversation, everybody leaved the living room and continued their activities. Mom came to dad.
“Can we talk? Privately”
“Of course.”
They went to garden.
“I think your mom doesn’t like me.” Mom said hesistantly.
“Why?”
“The tea is not sweet. I will be her eldest son’s wife and this is my first visit. Plain tea? What it means?” Mom asked hoarsely.
“Hahaha. Do you know that Sundanese people don’t like sugar?
“Really?”
“Come to every house in this town. You won’t get sweet tea as you expect.”
Mom was getting shy.
“Let’s go back to my home, my mom cooked delicious –less sugar—food for us. And, if you want to rest, my sister has prepared her room for you.”
My mom smiled.

Selasa, 25 September 2012

Jalanku

 19 September 2012

Tidak biasanya kita ngobrol di dunia maya. Apa kabarmu, Sahabatku?

Kemarin kau bertanya, mau melakukan apa setelah lulus. Dan yang pertama terbayang di kepalaku adalah aktivitas luar ruangan yang fleksibel. Bukan mulai kerja jam delapan pagi, lalu selesai bekerja jam 4 sore.

Sebenarnya tidak apa-apa sih kerja di dalam ruangan, asalkan tidak harus mulai kerja pagi-pagi dan selesai kerja sore-sore, selama lima hari dalam seminggu. Aku lebih suka kerja menguras keringat membanting tulang selama tiga hari full, lalu libur empat hari. Intinya, aku tidak suka terlalu banyak diatur dan dibatasi. Aku ingin aktivitas yang fleksibel.

Atau, boleh juga mulai kerja jam delapan pagi, lalu selesai kerja jam empat sore. Asalkan...di luar ruangan. Rutinitas delapan-empat setiap hari itu sudah menjemukan dan bisa membuat aku tertekan, masa iya mau ditambah lagi dengan lokasi kerja di dalam ruangan? Kalau aku menerima jam kerja delapan-empat, aku harus bekerja di luar ruangan agar pikiranku selalu fresh.

Ok, persoalan jam kerja dan lokasi kerja sudah kupaparkan. Muncullah pertanyaan selanjutnya, "Aktivitas seperti apa yang sebenarnya aku inginkan?"

Selama ini aku selalu mencari apa bakatku agar aku bisa menentukan jalan karierku. Tapi sampai sekarang masih belum ketemu juga.

Aku beralih, aku kemudian mencari hal-hal apa yang kusukai. Seperti kata Rene Suhardono, passion. Ok, aku suka menganalisa, berdiskusi, berkreasi. Meskipun kemampuanku dalam tiga hal tersebut masih belum memadai untuk dipersaingkan dengan teman-temanku yang lebih cerdas dan pandai, namun aku benar-benar menyukai tiga hal tersebut. Lagipula aku juga kerap beruntung. Entah kenapa aku sering diterima sebagai freelancer di perusahaan-perusahaan yang membutuhkan "tulisan".

Mungkinkah aku berpotensi? Atau aku berbeda?

Cara pikirku memang "autis". Aku seperti punya dunia sendiri dan tidak peduli dengan dunia yang sesungguhnya. Seolah aku punya teori-teori sendiri untuk duniaku.

Salahku adalah terlalu menikmati pemikiran "autis" tersebut, sehingga ketika aku harus membaur atau bahkan bersaing dengan orang-orang yang pemikirannya berdasarkan pada dunia yang sesungguhnya, aku sekejap jadi ciut dan hampir tidak "terlihat" lagi.

Ok, aku memang sudah tau betul passion-ku yang masih mentah ini. Namun apakah ini cukup? Terlalu banyak kekhawatiran untuk terjun di dunia para pemikir, dunia para perancang, apalagi dunia para seniman.

Salahku yang selanjutnya adalah aku selama ini melupakan orang-orang di sekitarku. Menentukan peran sosial ataupun aktivitas setelah lulus kuliah tidak melulu harus bercermin kepada diri sendiri. Kita juga harus melihat keluar rumah. Apa yang mereka butuhkan dari kita? Apa yang bisa saya bantu? Bisa apa saya dalam hal membantu mereka?

Saya selama ini lupa kalau saya tidak hidup sendiri. Saya egois.

Setelah sadar ada subyek lain yang perlu dipertimbangkan, aku mulai memikirkan keluargaku. Tentunya, mereka punya pandangan stereotip sendiri tentang profesi-profesi tertentu.

Dan, untuk mengubah stereotip memang tidak mustahil, tapi caranya harus cantik. Jangan jadi oposisi bergaris keras. Carilah irisan-irisan dari dua pandangan yang berbeda. Cari terus irisan tersebut hingga akhirnya terjadilah peleburan dari dua pandangan yang berbeda.

Lalu dari semua kekhawatiran sebagai seorang desainer, penulis, pebisnis, seniman, environmentalis, dan lain lain; akhirnya aku menemukan satu peran yang rasanya sangat nyaman, bebas dari kekhawatiran. Aktivis sosial.

Memiliki banyak uang adalah beban, jika kita tidak bisa mengelolanya dengan bijak. Yang ada, kita malah jauh dari kebahagiaan. Menjadi bos besar, memiliki banyak piala, serta memiliki pengaruh yang besar pun sama halnya dengan memiliki banyak uang. Menjerumuskan kita, jika kita tidak bijak dalam menggunakannya.

Tetapi membantu anak-anak belajar, mengajari ibu-ibu membuat kerajinan tangan, dan menanam pohon rasanya benar-benar menjawab kebutuhan masa depanku.

Dan untungnya, aku bisa melakukan itu semua di luar ruangan.

Dan untungnya lagi, sudah banyak lembaga swadaya masyarakat yang tidak terkesan "ecek-ecek". Sehingga, keluargaku akan tetap merasa senang.

Bagaimana denganmu, Sahabatku?

Selasa, 07 Agustus 2012

Entah Apa yang Kucari

Adakah sebuah hati yang serupa dengan tulang ketika ditinggal oleh sum-sumnya? Kopong. Adakah? Atau mungkin serupa dengan gigi yang dilubangi makhluk-makhluk kecil

Aku tidak bisa melihat kondisi hati, dengan mataku. Aku hanya bisa merasakannya. Karena hati adalah bagian dari aku. Hati yang kumaksud di sini adalah hati yang bisa berbicara tanpa didengar orang lain.

Emosiku mempengaruhi kondisi hatiku. Suhu kamarku yang dingin lah yang mungkin mempengaruhi suhu emosiku.

Aku membedakan emosi menjadi emosi panas dan emosi dingin. Hal ini ada sebabnya. Pernahkah kau merasa kegerahan atau merasa ada hawa panas mengalir dari orang yang habis bertengkar? Pernahkah kau merasa ada hawa dingin mengalir dari orang yang sedang putus asa atau sedih? Sebenarnya orang tersebutlah yang menyerap panas tubuh kita. Pernahkah kau merasakannya? Jika kau berlum pernah merasakannya, berarti kau harus meningkatkan sensitivitas indra peraba dan perasamu. Karena selain emosi mempengaruhi suhu tubuh, emosi pun membuat kita mengeluarkan energi dari dalam tubuh. Energi itulah yang terasa seperti aliran panas atau dingin yang akan menyentuh kulit orang-orang di sekitarnya. Jika orang di sekitarnya menyerap energi tersebut dengan baik, orang-rang di sekitar tersebut bisa saja terpengaruh dan ikut-ikutan sedih atau marah. Pernahkah kau merasa sangat bahagia, tiba-tiba kau bertemu temanmu lalu bahagiamu surut? Kau menjabat tangannya yang sangat dingin, ia murah senyum saat itu, namun tiba-tiba bahagiamu itu hilang seketika, padahal orang tersebut belum bicara sepatah katapun. Pernahkah? Seperti itulah cara kerja energi.

Kini kamarku dingin, hatiku dingin, begitu juga aku. Aku dingin luar dalam.

Hatiku, hatiku ini berlubang. Seperti gigi yang berlubang, akan terasa lebih linu di tempat yang dingin. Kini, linu di hatiku semakin terasa.

Aku telah berlari ke segala arah. Mencari cinta dan kasih sayang. Namun rasanya semua pengalaman-pengalaman cintaku tidak ada yang bisa menambal lubang di hatiku.

Apa yang sebenarnya kucari?

Kuingat-ingat lagi. Aku tak pernah mual ketika merindukan seseorang, kecuali ibuku. Hanya ketika aku merindukan ibuku lah, aku merasa mual dan kedinginan.

Apakah yang kucari selama ini adalah kasih sayang ibu?

Jumat, 03 Agustus 2012

Mungkin dan Semoga

"Saya sudah transfer kemarin."
"Sebenarnya saya lebih senang kalau kakak bisa meluangkan waktu untuk membagi cerita-cerita di masa kuliah kakak."
"Saya ini biasa-biasa saja ketika kuliah."

Saudara kandungku, apa kau begitu sibuk? Apa kalimat terakhirmu ini adalah kalimat penutup percakapan kita? Kau adalah keluargaku yang kubutuhkan selain orang tua kita. Kau mungkin juga bisa membantuku berbicara dengan ayah dan ibu.

Dulu kau yang mengajariku cara makan yang benar. Aku suka caramu mengajariku. Mungkin kau bisa jadi jembatan bagi aku dan orang tua kita. Tapi ya sudahlah. Mungkin kau sibuk mencari uang untuk biaya pendidikanku jika ayah sudah tidak sanggup membiayaiku. Semoga akan ada kesempatan lain untukmu mengajariku hal-hal lain selain cara makan yang benar.

Jari-Jari Kecil Anakmu

Aku menapak ke utara, mencoba menyentuh si pemilik tahta
Lalu aku mendapat sentuhan dari semua orang di bawah tahtanya
Tapi, rasanya ada yang kurang

Aku menapak ke timur laut, mencoba menyentuh seorang sahabat
Lalu aku mendapat genggaman tangan yang jarang terlepas
Tapi, rasanya ada yang kurang

Aku menapak ke barat daya, mencoba menyentuh lelaki, dengan sentuhan wanitaku
Lalu aku mendapat pelukan seorang lelaki yang membuat jantungku menari
Tapi, rasanya ada yang kurang

Aku menapak ke utara, mencoba meraih tangan Sang Pencipta, dengan tangan kotorku
Tapi nuraniku membentak, "Beraninya kau mencoba menyentuh tangan-Nya dengan tangan kotormu!"

Lalu dimana lagi aku harus menapak?

Aku pernah merasa lebih dari cukup di suatu tempat.
Tempat dimana aku selalu didekap,
disuapi sesuatu yang lezat,
didengarkan doa-doa dan cerita-cerita,
dijaga dari segala bahaya.
Di tempat itu, noda dan dosa todak bisa menyentuhku.
Di tempat itu, Dia dan aku saling menggenggam tangan.

Tempat itu adalah rahim ibuku
Ibu, aku rindu tempat itu
Ibu, apakah benar-benar tak ada kesempatan untuk aku kembali?

Minggu, 20 Mei 2012

Pertemanan Setengah Hari

Aku sedang dalam perjalanan pulang. Tiba-tiba berlarianlah di hadapanku, seorang bocah laki-laki yang mengejar teman perempuannya. “Nah, kena!” Teriak bocah laki-laki itu.
“Curang!” Sahut si bocah perempuan.
“Siapa yang curang?” Balas si bocah laki-laki.
Aku jadi teringat akan pertemanan singkat di masa kecilku dengan saudara jauhku.

Sesampainya di rumah, sambil menikmati secangkir teh, aku membayangkan kembali hari itu. Ingatanku akan hari itu jelas sekali. Aku jadi seperti memutar film di kepalaku.

Kisah ini diawali dengan bangun tidur dan diakhiri dengan tertidur.

Waktu itu, siang menjelang sore. Langit kelabu, sepertinya hujan akan turun. Aku terbangun dari tidurku karena ibuku membangunkanku agar aku bisa ikut masuk ke dalam rumah saudaraku itu.

Kami masuk ke sebuah rumah klasik bertembok bata merah yang dimodifikasi dengan batu kali. Perabotannya pun antik dan tersusun rapi.

Ketika aku sibuk mengagumi rumah yang indah ini, ibuku malah duduk di meja makan dengan seorang nenek. Kulihat hidung ibuku merah, matanya sembab dan berair seperti hampir menangis. Namun ketika aku bertanya mengapa ia menangis, ia bilang ia tidak menangis. Kemudian si nenek pemilik rumah itu langsung menyuruh aku main dengan cucunya. Mungkin agar aku tidak mendengar pembicaraan mereka.

"Cep, sini! Ini temennya diajak main sana."
"Iya Uti."

Cep itu nama panggilan untuk anak laki-laki di tanah Sunda. Sementara nama anak laki-laki itu, sampai sekarang aku tidak tahu siapa.

Lelaki tinggi, putih, kurus, dan lumayan tampan itu pun langsung mengajakku ke ruang tengah. Tanpa berkenalan, tanpa bertanya apapun.

“Sini, jangan malu-malu.”
Aku pun datang mendekat.
“Aku punya banyak mainan loh.”
Aku tersenyum.
“Aku suka main catur. Kamu suka nggak?”
Aku hanya diam. Masuk SD aja belum, mengeja kata aja belum becus, mana sampai otakku mengatur strategi permainan catur saat itu.
“Nggak bisa ya?”
Aku menggeleng.
“Kamu sukanya main apa? Ni ada banyak mainan di kotak. Ambil aja.” Lanjutnya sambil tersenyum.
Aku lalu membuka kotak itu. Kebetulan di situ ada pedang-pedangan yang bentuknya mirip dengan pedang yang ada di film-film kartun.
“Wah! Ini bagus.”
“Kamu suka? Yaudah kita main perang-perangan aja.”
“Kurang orangnya.”
“Ceritanya prajurit yang sisa tinggal kita doang.”
“Tapi nanti ada yang nangis.”
“Nggak usah keras-keras mukulnya. Pokoknya kalo pedang musuh kesenggol badan, berarti kalah. Ni pake bantal buat tameng. Gimana?”
“Oke.”

Kami pun saling berhadapan dan bersiap untuk mengayunkan pedang. Ketika anak laki-laki itu mengangkat tangannya, aku bukannya menangkis tapi malah lari. Akhirnya duel antar samurai pun berubah jadi kejar-kejaran.

Sekencang-kencangnya aku berlari, dia tetap dapat menangkapku. Tentu saja, kakinya lebih panjang. Aku kalah langkah.

Akhirnya kami kelelahan lalu istirahat di bangku panjang di ruang tengah tempat kami bermain. Aku duluan yang tiduran di bangku panjang itu, aku tidur merapat ke sandaran kursi. Lalu dia yang berniat mengganggu, tidur di sebelahku sambil mendorong bokong aku dengan bokongnya. Kami saling mendorong dan memojokkan satu sama lain agar bisa mendapatkan tempat tidur yang lebih lega.
“Hmhm.”
“Hihi.” Kami saling mendorong sambil menahan tawa.

Lambat laun, suasana pun jadi sepi. Aku bangun sejenak untuk melihat wajahnya, ternyata dia sudah tidur.

Mengetahui dia tidur, aku pun jadi ikut-ikutan ngantuk. Aku berbaring kembali dan memejamkan mataku. Aku senyum-senyum sendiri, merasa senang bermain di sini. Sambil memejamkan mata aku pun memikirkankan permainan-permainan apa yang akan kami mainkan ketika kami bangun tidur nanti. Ah, senang sekali main di sini. Rumahnya bagus, mainannya banyak, temannya baik.

Akupun akhirnya tertidur, tapi ibuku malah segera membangunkanku. Rasanya singkat sekali tidurku saat itu karena aku tidak memimpikan apapun.

Aku bangun, menoleh ke belakang, mencari anak laki-laki itu, tapi dia tidak ada di sekitarku.
"Temenku mana Mah?"
"Tidur di kamarnya."
Ibuku pun langsung menunjukkan kamar anak laki-laki itu. Kamar itu berada tepat di sebelah kiri bangku tamu yang aku tiduri tadi. Datanglah si nenek.
"Tadi waktu kalian pada tidur di kursi, nenek ngebangunin dia. Nenek suruh dia pindah ke kamarnya. Anak laki-laki nggak boleh tidur di samping anak perempuan."
Aku jadi malu mendengar hal itu. Aku merasa telah melakukan hal yang salah. Aku pun menggandeng tangan ibu.

Aku memperhatikan wajah anak laki-laki yang sedang tidur itu. Aku masih mau main di sini, aku seneng main di sini, batinku. Ibuku menarik tanganku. Sambil berjalan, aku masih melihat ke belakang, menatap wajahnya.

Kami berjalan keluar. Kulihat ayah sedang duduk di teras bersama seorang bapak-bapak yang kelihatannya sedikit lebih tua darinya.
Ibu memanggil ayah, “Yuk pulang, Yah.”
Ayah bangkit dari tempat duduknya. “Yuk yuk. A’, pamit dulu ya.”
Si bapak ini kemudian ikut berdiri sambil menyalami ayahku. “Ya mangga. Ati-ati di jalan. Kalo udah sampe kabarin ya Cep.”
“Muhun. Wa’, pamit dulu.”
“Iya Cep, ati-ati di jalan.” Jawab si nenek pemilik rumah.
 “Muhun, muhun. Yeni, salim sama pakde sama mbah. Eh, pakde apa uwa ini manggilnya? Maklum, si Yeni nggak ngerti bahasa Sunda, ngertinya Jawa. He he.” Lanjut ayah.
“Apa aja lah. Manggil apa aja boleh ya Neng ya?” Sahut si bapak.
Aku pun mencium tangan si bapak dan si nenek, “Pulang dulu ya Pakde. Pulang dulu ya Uti, eh… Mbah.”
“He he, si Eneng… Uti aja manggilnya.” Sambil mengusap kepalaku. Aku pun tersenyum. Aku ingin menanyakan sesuatu, tapi aku malu mengatakannya. Tanya itupun hanya tertahan di bibir mungilku yang lugu.

“Makasih ya A’, Wa’. Nanti kapan-kapan main ke Jakarta atau ke Jogja. Banjarsari juga boleh.” Ujar ibuku.
“Iya Neng Yuma, nanti kapan-kapan.” Jawab si nenek.

Masih gerimis rupanya. Kami pun membuka payung lalu berjalan menuju mobil. Masih ada rasa berat untuk masuk ke mobil, tapi aku harus masuk ke mobil.

Kaca jendela dibuka sedikit. Kami melambaikan tangan. Ada perasaan kecewa karena anak laki-laki itu tidak ikut berdiri di teras rumah dan melambaikan tangannya. Jendela pun ditutup, aku masih memperhatikan rumah itu dari kaca belakang mobil. Rumah itu terlihat semakin jauh dan semakin jauh, hingga tak terlihat lagi.

Ayah menyuruhku tidur karena setelah ini jalannya ajan berbelok-belok dan membuatku pusing. Aku pun berbaring di jog belakang mobil.

Aku berbaring sambil melamun. Aku kecewa dan sedikit sedih. Aku masih ingin berada di sana. Aku juga sangat penasaran. Siapa nama anak laki-laki itu? Aku sangat ingin bertanya pada orang tuaku. Tapi aku juga sangat malu untuk bertanya. Teguran si nenek, saat aku tidur bersebelahan dengan cucunya, sangatlah membuatku malu. Terpaksa, aku hanya bisa menelan rasa penasaran itu.

Ibu menoleh ke belakang, melihat mataku yang masih terbuka. Ibu pun memberiku obat anti mabuk dan sebotol air minum. Aku pun mengantuk karena obat itu.

Sesampainya aku di rumah. Aku ingat sekali, hari itu kami memiliki tetangga baru. Aku sangat senang ketika itu karena memiliki teman baru. Kesenangan itu membuatku lupa akan anak laki-laki yang tidur di bangku bersamaku.

Sialnya, ketika aku tumbuh besar, aku malah ingat lagi pada anak laki-laki itu. Aku bertanya pada ibu dan ayah tentang keluarga itu. Sialnya lagi, mereka tidak mengingatnya. Ada banyak saudara kami yang memiliki rumah kuno dan mengoleksi barang-barang antik. Aku sendiri juga sama sekali tidak ingat akan kejadian-kejadian sebelum kami berangkat. Aku juga tidur selama di jalan, baik berangkat maupun pulang.

Yang paling aku sesalkan adalah mengapa kami tidak berkenalan dulu saat itu. Mengapa aku tidak bertanya itu rumah siapa ketika dalam perjalanan pulang (sebelum ibu memberi obat anti mabuk). Mengapa aku sama sekali tidak bertanya rumah itu ada di daerah mana. Banyak sekali kata mengapa.

Saat ini, aku sudah duduk di bangku kuliah. Kejadian itu sudah belasan tahun terlewatkan, tapi aku masih saja penasaran dan berharap bisa bertemu lagi dengannya.

Jika beruntung, mungkin aku bisa bertemu lagi dengannya. JIka kurang beruntung, mungkin pertemanan kami hanya boleh jadi pertemanan setengah hari.