PERHATIAN!

Perhatian! Blog ini isinya karya fiksi. Semua posting di blog ini adalah hasil rekaan, jika ada kesamaan cerita, nama tokoh dan tempat adalah kesamaan yang tidak disengaja.

Minggu, 20 Mei 2012

Pertemanan Setengah Hari

Aku sedang dalam perjalanan pulang. Tiba-tiba berlarianlah di hadapanku, seorang bocah laki-laki yang mengejar teman perempuannya. “Nah, kena!” Teriak bocah laki-laki itu.
“Curang!” Sahut si bocah perempuan.
“Siapa yang curang?” Balas si bocah laki-laki.
Aku jadi teringat akan pertemanan singkat di masa kecilku dengan saudara jauhku.

Sesampainya di rumah, sambil menikmati secangkir teh, aku membayangkan kembali hari itu. Ingatanku akan hari itu jelas sekali. Aku jadi seperti memutar film di kepalaku.

Kisah ini diawali dengan bangun tidur dan diakhiri dengan tertidur.

Waktu itu, siang menjelang sore. Langit kelabu, sepertinya hujan akan turun. Aku terbangun dari tidurku karena ibuku membangunkanku agar aku bisa ikut masuk ke dalam rumah saudaraku itu.

Kami masuk ke sebuah rumah klasik bertembok bata merah yang dimodifikasi dengan batu kali. Perabotannya pun antik dan tersusun rapi.

Ketika aku sibuk mengagumi rumah yang indah ini, ibuku malah duduk di meja makan dengan seorang nenek. Kulihat hidung ibuku merah, matanya sembab dan berair seperti hampir menangis. Namun ketika aku bertanya mengapa ia menangis, ia bilang ia tidak menangis. Kemudian si nenek pemilik rumah itu langsung menyuruh aku main dengan cucunya. Mungkin agar aku tidak mendengar pembicaraan mereka.

"Cep, sini! Ini temennya diajak main sana."
"Iya Uti."

Cep itu nama panggilan untuk anak laki-laki di tanah Sunda. Sementara nama anak laki-laki itu, sampai sekarang aku tidak tahu siapa.

Lelaki tinggi, putih, kurus, dan lumayan tampan itu pun langsung mengajakku ke ruang tengah. Tanpa berkenalan, tanpa bertanya apapun.

“Sini, jangan malu-malu.”
Aku pun datang mendekat.
“Aku punya banyak mainan loh.”
Aku tersenyum.
“Aku suka main catur. Kamu suka nggak?”
Aku hanya diam. Masuk SD aja belum, mengeja kata aja belum becus, mana sampai otakku mengatur strategi permainan catur saat itu.
“Nggak bisa ya?”
Aku menggeleng.
“Kamu sukanya main apa? Ni ada banyak mainan di kotak. Ambil aja.” Lanjutnya sambil tersenyum.
Aku lalu membuka kotak itu. Kebetulan di situ ada pedang-pedangan yang bentuknya mirip dengan pedang yang ada di film-film kartun.
“Wah! Ini bagus.”
“Kamu suka? Yaudah kita main perang-perangan aja.”
“Kurang orangnya.”
“Ceritanya prajurit yang sisa tinggal kita doang.”
“Tapi nanti ada yang nangis.”
“Nggak usah keras-keras mukulnya. Pokoknya kalo pedang musuh kesenggol badan, berarti kalah. Ni pake bantal buat tameng. Gimana?”
“Oke.”

Kami pun saling berhadapan dan bersiap untuk mengayunkan pedang. Ketika anak laki-laki itu mengangkat tangannya, aku bukannya menangkis tapi malah lari. Akhirnya duel antar samurai pun berubah jadi kejar-kejaran.

Sekencang-kencangnya aku berlari, dia tetap dapat menangkapku. Tentu saja, kakinya lebih panjang. Aku kalah langkah.

Akhirnya kami kelelahan lalu istirahat di bangku panjang di ruang tengah tempat kami bermain. Aku duluan yang tiduran di bangku panjang itu, aku tidur merapat ke sandaran kursi. Lalu dia yang berniat mengganggu, tidur di sebelahku sambil mendorong bokong aku dengan bokongnya. Kami saling mendorong dan memojokkan satu sama lain agar bisa mendapatkan tempat tidur yang lebih lega.
“Hmhm.”
“Hihi.” Kami saling mendorong sambil menahan tawa.

Lambat laun, suasana pun jadi sepi. Aku bangun sejenak untuk melihat wajahnya, ternyata dia sudah tidur.

Mengetahui dia tidur, aku pun jadi ikut-ikutan ngantuk. Aku berbaring kembali dan memejamkan mataku. Aku senyum-senyum sendiri, merasa senang bermain di sini. Sambil memejamkan mata aku pun memikirkankan permainan-permainan apa yang akan kami mainkan ketika kami bangun tidur nanti. Ah, senang sekali main di sini. Rumahnya bagus, mainannya banyak, temannya baik.

Akupun akhirnya tertidur, tapi ibuku malah segera membangunkanku. Rasanya singkat sekali tidurku saat itu karena aku tidak memimpikan apapun.

Aku bangun, menoleh ke belakang, mencari anak laki-laki itu, tapi dia tidak ada di sekitarku.
"Temenku mana Mah?"
"Tidur di kamarnya."
Ibuku pun langsung menunjukkan kamar anak laki-laki itu. Kamar itu berada tepat di sebelah kiri bangku tamu yang aku tiduri tadi. Datanglah si nenek.
"Tadi waktu kalian pada tidur di kursi, nenek ngebangunin dia. Nenek suruh dia pindah ke kamarnya. Anak laki-laki nggak boleh tidur di samping anak perempuan."
Aku jadi malu mendengar hal itu. Aku merasa telah melakukan hal yang salah. Aku pun menggandeng tangan ibu.

Aku memperhatikan wajah anak laki-laki yang sedang tidur itu. Aku masih mau main di sini, aku seneng main di sini, batinku. Ibuku menarik tanganku. Sambil berjalan, aku masih melihat ke belakang, menatap wajahnya.

Kami berjalan keluar. Kulihat ayah sedang duduk di teras bersama seorang bapak-bapak yang kelihatannya sedikit lebih tua darinya.
Ibu memanggil ayah, “Yuk pulang, Yah.”
Ayah bangkit dari tempat duduknya. “Yuk yuk. A’, pamit dulu ya.”
Si bapak ini kemudian ikut berdiri sambil menyalami ayahku. “Ya mangga. Ati-ati di jalan. Kalo udah sampe kabarin ya Cep.”
“Muhun. Wa’, pamit dulu.”
“Iya Cep, ati-ati di jalan.” Jawab si nenek pemilik rumah.
 “Muhun, muhun. Yeni, salim sama pakde sama mbah. Eh, pakde apa uwa ini manggilnya? Maklum, si Yeni nggak ngerti bahasa Sunda, ngertinya Jawa. He he.” Lanjut ayah.
“Apa aja lah. Manggil apa aja boleh ya Neng ya?” Sahut si bapak.
Aku pun mencium tangan si bapak dan si nenek, “Pulang dulu ya Pakde. Pulang dulu ya Uti, eh… Mbah.”
“He he, si Eneng… Uti aja manggilnya.” Sambil mengusap kepalaku. Aku pun tersenyum. Aku ingin menanyakan sesuatu, tapi aku malu mengatakannya. Tanya itupun hanya tertahan di bibir mungilku yang lugu.

“Makasih ya A’, Wa’. Nanti kapan-kapan main ke Jakarta atau ke Jogja. Banjarsari juga boleh.” Ujar ibuku.
“Iya Neng Yuma, nanti kapan-kapan.” Jawab si nenek.

Masih gerimis rupanya. Kami pun membuka payung lalu berjalan menuju mobil. Masih ada rasa berat untuk masuk ke mobil, tapi aku harus masuk ke mobil.

Kaca jendela dibuka sedikit. Kami melambaikan tangan. Ada perasaan kecewa karena anak laki-laki itu tidak ikut berdiri di teras rumah dan melambaikan tangannya. Jendela pun ditutup, aku masih memperhatikan rumah itu dari kaca belakang mobil. Rumah itu terlihat semakin jauh dan semakin jauh, hingga tak terlihat lagi.

Ayah menyuruhku tidur karena setelah ini jalannya ajan berbelok-belok dan membuatku pusing. Aku pun berbaring di jog belakang mobil.

Aku berbaring sambil melamun. Aku kecewa dan sedikit sedih. Aku masih ingin berada di sana. Aku juga sangat penasaran. Siapa nama anak laki-laki itu? Aku sangat ingin bertanya pada orang tuaku. Tapi aku juga sangat malu untuk bertanya. Teguran si nenek, saat aku tidur bersebelahan dengan cucunya, sangatlah membuatku malu. Terpaksa, aku hanya bisa menelan rasa penasaran itu.

Ibu menoleh ke belakang, melihat mataku yang masih terbuka. Ibu pun memberiku obat anti mabuk dan sebotol air minum. Aku pun mengantuk karena obat itu.

Sesampainya aku di rumah. Aku ingat sekali, hari itu kami memiliki tetangga baru. Aku sangat senang ketika itu karena memiliki teman baru. Kesenangan itu membuatku lupa akan anak laki-laki yang tidur di bangku bersamaku.

Sialnya, ketika aku tumbuh besar, aku malah ingat lagi pada anak laki-laki itu. Aku bertanya pada ibu dan ayah tentang keluarga itu. Sialnya lagi, mereka tidak mengingatnya. Ada banyak saudara kami yang memiliki rumah kuno dan mengoleksi barang-barang antik. Aku sendiri juga sama sekali tidak ingat akan kejadian-kejadian sebelum kami berangkat. Aku juga tidur selama di jalan, baik berangkat maupun pulang.

Yang paling aku sesalkan adalah mengapa kami tidak berkenalan dulu saat itu. Mengapa aku tidak bertanya itu rumah siapa ketika dalam perjalanan pulang (sebelum ibu memberi obat anti mabuk). Mengapa aku sama sekali tidak bertanya rumah itu ada di daerah mana. Banyak sekali kata mengapa.

Saat ini, aku sudah duduk di bangku kuliah. Kejadian itu sudah belasan tahun terlewatkan, tapi aku masih saja penasaran dan berharap bisa bertemu lagi dengannya.

Jika beruntung, mungkin aku bisa bertemu lagi dengannya. JIka kurang beruntung, mungkin pertemanan kami hanya boleh jadi pertemanan setengah hari.