PERHATIAN!

Perhatian! Blog ini isinya karya fiksi. Semua posting di blog ini adalah hasil rekaan, jika ada kesamaan cerita, nama tokoh dan tempat adalah kesamaan yang tidak disengaja.

Minggu, 01 April 2012

Mendengarkan Ucapan Angin

Malam itu, seusai latihan pernapasan silat Merpati Putih, aku pulang. Seperti biasanya, pak satpam di pos satpam gerbang lama Unpad kerap menyapaku, “Baru pulang, neng?” Aku tahu itu sindiran. Aku pun menjawab dengan tersenyum, “Iya pak.”
Aku baru saja kehilangan sesuatu. Aku sedih. Namun sedihku seolah sembunyi dibalik perasaan yang lain. Perasaan yang lain itulah yang yang mengantarku pulang malam ini.
Latihan pernapasan tadi telah membuatku bangga sendiri. Istilah anak muda jaman sekarang, aku ini norak sepertinya. Padahal, (sejujurnya) badanku terasa sakit seperti ditusuki jarum. Namun sepertinya lebih baik merasakan sakit daripada tidak merasakan apa-apa.
Setelah melewati pos satpam, seperti biasanya, aku melewati jalur pejalan kaki di sisi kanan. Sempat terdengar kembali di kepalaku, ucapan temanku tentang imajinasi dan rasa. “Awalnya memang hanya imajinasi, tapi lama-kelamaan jadi rasa.”
Malam ini, angin terasa berbeda. Atau aku yang berbeda? Aku menggoyang-goyangkan tangan maju-mundur. Lagi-lagi mengingat ucapan temanku, “Saat berjalan, bayangkan tanganmu memancarkan energi.” Dan angin yang berbeda itu pun semakin terasa di telapak tanganku.
Aku penasaran, apakah angin ini bertiup kencang karena goyangan tanganku, atau memang angin malam ini bertiup kencang. Di tanjakan seberang Kickers, aku berhenti. Aku diam. Angin tak ada. Ku goyangkan tanganku lagi, angin datang lagi. Ya, angin ini ada karena goyangan tanganku. Tapi apa iya, goyangan tangan dapat menyebabkan angin sekencang ini? Aku berjalan lagi.
Kurasakan kembali tanganku. Kurasakan lengan atasku, tak tertiup angin sama sekali. Kurasakan lagi bagian siku hingga ujung jari. Seperti menarik angin untuk menyelimuti. Pori-pori kulitku pun serasa membesar. Dan angin yang berbeda itu pun terasa benar-benar menyejukkan tanganku hingga ke tulang pergelangan dan ruas-ruas jari. Nyaman sekali.
Semakin dalam kurasakan, semakin kuat angin itu menarik pergelanganku, telapakku, jemariku. Angin itu menari pada tanganku, mengajak tanganku menari pada angin.
Sambil terus berjalan melewati tikungan seberang FISIP, aku menguatkan keyakinan pada hayalku. Kupejamkan mataku. Kualirkan semua rasa ditubuh hanya pada telapak tangan dan ujung-ujung jari. Rasa panas, gemetar, berdenyut, serta tusukan jarum-jarum yang menggelitik dan menyakitkan.
Aku membuka mata, kembali berjalan sambil melirik ke arah Dekanat FISIP dan selasar FISIP. Sepi.
Aku melihat kedua telapak tanganku. Biasanya pucat, namun kini memerah. Gemetarnya pun makin kuat. Aku merasakan ada panas yang memancar ke dadaku. Kuturunkan tanganku, panasnya hilang. Kugoyangkan lagi tanganku, denyutnya semakin kuat, hingga aku bisa mendengarnya. Seperti orang yang sedang berlari jarak jauh, pastilah nafas dan denyut jantungnya bisa terdengar oleh kuping sendiri. Aku jadi ingat lagi perkataan temanku, “Kalau kamu berkonsentrasi untuk mengeluarkan energi dari ujung-ujung jari, jantungmu seperti pindah ke ujung-ujung jari.”
Aku berusaha mendengar lebih dalam. Sambil menggoyangkan tanganku, kudengarkan suara angin yang seirama dengan denyut ujung jariku. Mirip suara angin di pantai. Ternyata, suara tersebut bersautan dengan suara pijakan kakiku. Suara pijakan kaki yang memakai sepatu kets, menginjak trotoar pejalan kaki. Aku mencoba turun dari trotoar dan berjalan di aspal. Kuinjak daun-daun kering di pinggir aspal. Suara pijakan yang renyah.
Suara angin, suara denyut ujung jari, suara pijakan kaki. Bersautan. Menghanyutkan. Kupejamkan mata, kuhirup napas panjang. Segar.
Kurasakan badanku, kurasakan angin yang berhembus, memasuki pori-pori bajuku. Membelai perut, dada, leher, kepala, semuanya. Hingga lupa akan rasa sakit (seperti ditusuki jarum) di telapak tanganku.
Aku masih berjalan, kini sudah hampir sampai. Lampu sorot Bale’ Padjadjaran sudah menyambutku. Namun lampu sorot itu tidak melenyapkan irama yang telah menghanyutkanku itu. Sambil berjalan melewati pos satpam Pedca, aku menikmati irama itu sambil bernyanyi dalam hati.
Ada yang ingin diucapkan angin
Mungkin dingin
Seperti ada yang ingin diucapkan
Mungkin kegelisahan
Musik yang gemetar pada gitarmu
Seperti deru
Ada yang ingin diucapkan angin pada kegelapan
Malam yang mengalirkan badai dan laut pasang
Pada lagumu, sebuah balada
Tak selesai
Tapi ada yang ingin diucapkan padamu
Mungkin rindu
Ketika angin itu memberat di ruang tunggu
Dan cuaca pada palka
Seperti ingin memberhentikan waktu
Malam itu, ketika sudah di dalam kamar, bersama kelelahan, kesedihan yang terselimut kebahagiaan, dan rasa sakit yang terlupakan, aku tertidur. Nyenyak sekali.