Aku sedang dalam perjalanan pulang.
Tiba-tiba berlarianlah di hadapanku, seorang bocah laki-laki yang mengejar
teman perempuannya. “Nah, kena!” Teriak bocah laki-laki itu.
“Curang!” Sahut si bocah perempuan.
“Siapa yang curang?” Balas si bocah laki-laki.
Aku jadi teringat akan pertemanan singkat di masa
kecilku dengan saudara jauhku.
Sesampainya di rumah, sambil menikmati secangkir
teh, aku membayangkan kembali hari itu. Ingatanku akan hari itu jelas sekali.
Aku jadi seperti memutar film di kepalaku.
Kisah ini diawali dengan bangun tidur dan diakhiri
dengan tertidur.
Waktu itu, siang menjelang sore. Langit kelabu,
sepertinya hujan akan turun. Aku terbangun dari tidurku karena ibuku
membangunkanku agar aku bisa ikut masuk ke dalam rumah saudaraku itu.
Kami masuk ke sebuah rumah klasik bertembok bata
merah yang dimodifikasi dengan batu kali. Perabotannya pun antik dan tersusun
rapi.
Ketika aku sibuk mengagumi rumah yang indah ini,
ibuku malah duduk di meja makan dengan seorang nenek. Kulihat hidung ibuku
merah, matanya sembab dan berair seperti hampir menangis. Namun ketika aku
bertanya mengapa ia menangis, ia bilang ia tidak menangis. Kemudian si nenek
pemilik rumah itu langsung menyuruh aku main dengan cucunya. Mungkin agar aku
tidak mendengar pembicaraan mereka.
"Cep, sini! Ini temennya diajak main sana."
"Iya Uti."
Cep itu nama panggilan untuk anak laki-laki di
tanah Sunda. Sementara nama anak laki-laki itu, sampai sekarang aku tidak tahu
siapa.
Lelaki tinggi, putih, kurus, dan lumayan tampan itu
pun langsung mengajakku ke ruang tengah. Tanpa berkenalan, tanpa bertanya
apapun.
“Sini,
jangan malu-malu.”
Aku pun
datang mendekat.
“Aku punya
banyak mainan loh.”
Aku
tersenyum.
“Aku suka
main catur. Kamu suka nggak?”
Aku hanya
diam. Masuk SD
aja belum, mengeja kata aja belum becus, mana sampai otakku mengatur strategi
permainan catur saat itu.
“Nggak bisa
ya?”
Aku
menggeleng.
“Kamu
sukanya main apa? Ni ada banyak mainan di kotak. Ambil aja.” Lanjutnya sambil
tersenyum.
Aku lalu
membuka kotak itu. Kebetulan di situ ada pedang-pedangan yang bentuknya mirip
dengan pedang yang ada di film-film kartun.
“Wah! Ini
bagus.”
“Kamu suka?
Yaudah kita main perang-perangan aja.”
“Kurang
orangnya.”
“Ceritanya
prajurit yang sisa tinggal kita doang.”
“Tapi nanti ada
yang nangis.”
“Nggak usah
keras-keras mukulnya. Pokoknya kalo pedang musuh kesenggol badan, berarti
kalah. Ni pake bantal buat tameng. Gimana?”
“Oke.”
Kami pun saling berhadapan dan bersiap untuk
mengayunkan pedang. Ketika anak laki-laki itu mengangkat tangannya, aku
bukannya menangkis tapi malah lari. Akhirnya duel antar samurai pun berubah
jadi kejar-kejaran.
Sekencang-kencangnya aku berlari, dia tetap dapat
menangkapku. Tentu saja, kakinya lebih panjang. Aku kalah langkah.
Akhirnya kami kelelahan lalu istirahat di bangku
panjang di ruang tengah tempat kami bermain. Aku duluan yang tiduran di bangku
panjang itu, aku tidur merapat ke sandaran kursi. Lalu dia yang berniat
mengganggu, tidur di sebelahku sambil mendorong bokong aku dengan bokongnya.
Kami saling mendorong dan memojokkan satu sama lain agar bisa mendapatkan
tempat tidur yang lebih lega.
“Hmhm.”
“Hihi.” Kami saling mendorong sambil menahan tawa.
Lambat laun, suasana pun jadi sepi. Aku bangun
sejenak untuk melihat wajahnya, ternyata dia sudah tidur.
Mengetahui dia tidur, aku pun jadi ikut-ikutan
ngantuk. Aku berbaring kembali dan memejamkan mataku. Aku senyum-senyum
sendiri, merasa senang bermain di sini. Sambil memejamkan mata aku pun memikirkankan
permainan-permainan apa yang akan kami mainkan ketika kami bangun tidur nanti.
Ah, senang sekali main di sini. Rumahnya bagus, mainannya banyak, temannya
baik.
Akupun akhirnya tertidur, tapi ibuku malah segera
membangunkanku. Rasanya singkat sekali tidurku saat itu karena aku tidak
memimpikan apapun.
Aku bangun, menoleh ke belakang, mencari anak
laki-laki itu, tapi dia tidak ada di sekitarku.
"Temenku mana Mah?"
"Tidur di kamarnya."
Ibuku pun langsung menunjukkan kamar anak laki-laki
itu. Kamar itu berada tepat di sebelah kiri bangku tamu yang aku tiduri tadi.
Datanglah si nenek.
"Tadi waktu kalian pada tidur di kursi, nenek
ngebangunin dia. Nenek suruh dia pindah ke kamarnya. Anak laki-laki nggak boleh
tidur di samping anak perempuan."
Aku jadi malu mendengar hal itu. Aku merasa telah
melakukan hal yang salah. Aku pun menggandeng tangan ibu.
Aku memperhatikan wajah anak laki-laki yang sedang
tidur itu. Aku masih mau main di sini,
aku seneng main di sini, batinku. Ibuku menarik tanganku. Sambil berjalan,
aku masih melihat ke belakang, menatap wajahnya.
Kami berjalan keluar. Kulihat ayah sedang duduk di
teras bersama seorang bapak-bapak yang kelihatannya sedikit lebih tua darinya.
Ibu memanggil ayah, “Yuk pulang, Yah.”
Ayah bangkit dari tempat duduknya. “Yuk yuk. A’,
pamit dulu ya.”
Si bapak ini kemudian ikut berdiri sambil menyalami
ayahku. “Ya mangga. Ati-ati di jalan. Kalo udah sampe kabarin ya Cep.”
“Muhun. Wa’, pamit dulu.”
“Iya Cep, ati-ati di jalan.” Jawab si nenek pemilik
rumah.
“Muhun, muhun.
Yeni, salim sama pakde sama mbah. Eh, pakde apa uwa ini manggilnya? Maklum, si
Yeni nggak ngerti bahasa Sunda, ngertinya Jawa. He he.” Lanjut ayah.
“Apa aja lah. Manggil apa aja boleh ya Neng ya?”
Sahut si bapak.
Aku pun mencium tangan si bapak dan si nenek,
“Pulang dulu ya Pakde. Pulang dulu ya Uti, eh… Mbah.”
“He he, si Eneng… Uti aja manggilnya.” Sambil
mengusap kepalaku. Aku pun tersenyum. Aku ingin menanyakan sesuatu, tapi aku
malu mengatakannya. Tanya itupun hanya tertahan di bibir mungilku yang lugu.
“Makasih ya A’, Wa’. Nanti kapan-kapan main ke
Jakarta atau ke Jogja. Banjarsari juga boleh.” Ujar ibuku.
“Iya Neng Yuma, nanti kapan-kapan.” Jawab si nenek.
Masih gerimis rupanya. Kami pun membuka payung lalu
berjalan menuju mobil. Masih ada rasa berat untuk masuk ke mobil, tapi aku
harus masuk ke mobil.
Kaca jendela dibuka sedikit. Kami melambaikan
tangan. Ada perasaan kecewa karena anak laki-laki itu tidak ikut berdiri di
teras rumah dan melambaikan tangannya. Jendela pun ditutup, aku masih memperhatikan
rumah itu dari kaca belakang mobil. Rumah itu terlihat semakin jauh dan semakin
jauh, hingga tak terlihat lagi.
Ayah menyuruhku tidur karena setelah ini jalannya
ajan berbelok-belok dan membuatku pusing. Aku pun berbaring di jog belakang mobil.
Aku berbaring sambil melamun. Aku kecewa dan
sedikit sedih. Aku masih ingin berada di sana. Aku juga sangat penasaran. Siapa
nama anak laki-laki itu? Aku sangat ingin bertanya pada orang tuaku. Tapi aku
juga sangat malu untuk bertanya. Teguran si nenek, saat aku tidur bersebelahan
dengan cucunya, sangatlah membuatku malu. Terpaksa, aku hanya bisa menelan rasa
penasaran itu.
Ibu menoleh ke belakang, melihat mataku yang masih
terbuka. Ibu pun memberiku obat anti mabuk dan sebotol air minum. Aku pun mengantuk
karena obat itu.
Sesampainya aku di rumah. Aku ingat sekali, hari
itu kami memiliki tetangga baru. Aku sangat senang ketika itu karena memiliki
teman baru. Kesenangan itu membuatku lupa akan anak laki-laki yang tidur di
bangku bersamaku.
Sialnya, ketika aku tumbuh besar, aku malah ingat
lagi pada anak laki-laki itu. Aku bertanya pada ibu dan ayah tentang keluarga
itu. Sialnya lagi, mereka tidak mengingatnya. Ada banyak saudara kami yang
memiliki rumah kuno dan mengoleksi barang-barang antik. Aku sendiri juga sama
sekali tidak ingat akan kejadian-kejadian sebelum kami berangkat. Aku juga
tidur selama di jalan, baik berangkat maupun pulang.
Yang paling aku sesalkan adalah mengapa kami tidak
berkenalan dulu saat itu. Mengapa aku tidak bertanya itu rumah siapa ketika
dalam perjalanan pulang (sebelum ibu memberi obat anti mabuk). Mengapa aku sama
sekali tidak bertanya rumah itu ada di daerah mana. Banyak sekali kata mengapa.
Saat ini, aku sudah duduk di bangku kuliah.
Kejadian itu sudah belasan tahun terlewatkan, tapi aku masih saja penasaran dan
berharap bisa bertemu lagi dengannya.
Jika beruntung, mungkin aku bisa bertemu lagi
dengannya. JIka kurang beruntung, mungkin pertemanan kami hanya boleh jadi
pertemanan setengah hari.
Kisah-Kasih pra-sekolah
BalasHapusHahaha bisa aja lu.
BalasHapus