PERHATIAN!

Perhatian! Blog ini isinya karya fiksi. Semua posting di blog ini adalah hasil rekaan, jika ada kesamaan cerita, nama tokoh dan tempat adalah kesamaan yang tidak disengaja.

Rabu, 06 Maret 2013

Gelak Tawa

Kami sedang membicarakan wawancara yang akan kami ikuti sebagai prasyarat memasuki organisasi.
"Iya kayanya aku juga pengen ikut deh."
"Yuk ikut aja." Jawabku.
"Tapi kayanya aku mah versi KW, Jen. Hahaha."
"Hahaha ada-ada aja versi KW, emangnya sepatu."
"Iya paling ntar pas wawancara, tiap ditanya aku jawabnya 'Hehe nggak tau teh, itu apa ya teh, kasih tau dong teh. Hehe hehe.'"
"Hahaha."
Sore itu, dengan hal-hal garing semacam itu kami sudah tertawa geli dan mungkin mengganggu kamar sebelah karena suara kami keras sekali. Kami berbincang selama berjam-jam. Membicarakan berbagai hal konyol. Tiba-tiba aku teringat akan malam itu. Malam dimana aku ikut berkumpul bersama teman-teman kosnya. Malam dimana aku mendengar gelak tawa lepasnya disertai kegilaannya untuk pertama kalinya.

Dia yang tertawa lepas di malam itu adalah teman dekatku. Sebut saja namanya Bunga. Bunga yang kukenal sebelum malam itu adalah Bunga yang tenang, berwibawa, lembut, sopan, santun, dan sangat berhati-hati dalam bicara. Namun di malam itu, di depan teman-teman satu kosnya, dia menunjukkan sisi cacatnya. Meledek teman-temannya, diledek balik, tertawa terbahak-bahak, melontarkan lelucon absurd, mengutarakan hayalan gilanya, semua sisi cacatnya. Akupun bertanya-tanya, mengapa ia tidak pernah seperti itu didepanku. Apa mungkin kami masih kaku? Apa mungkin kami masih belum membuka diri? Apa mungkin kami tidak sedekat kelihatannya? Sepertinya aku menjawab iya untuk semua pertanyaan itu.

Sebelumnya, aku sering kali menceritakan hal-hal yang sangat lucu, namun Bunga hanya memandangiku sambil tersenyum semi melongo. (Ya begitulah, mulut terbuka, gigi atas terlihat namun tidak menempel pada gigi bawah. Lalu mata terlihat datar. Semi melongo kan? Tapi sudut bibir tertarik ke samping atas, jadi bisa dibilang tersenyum juga.) Padahal ada temanku yang tertawa lepas sampai lima detik ditambah gerakan pundak dan tangan yang heboh ketika mendengar cerita itu.

Aku mengingat lagi percakapan kami berdua tentang wawancara di kamarnya yang garing namun membuat kami tertawa keras. Aku bertanya lagi, apakah kami mulai membuka diri.

Pertanyaanku muncul lagi di keesokan harinya, di siang hari tepatnya. Ketika teman-teman lain mengipas-ngipasi wajahnya dengan buku karena kepanasan, ketika teman-teman lain bersandar di sandaran kursi karena lelah maupun ngantuk, Bunga malah mengajakku ngobrol dengan semangat. Matanya berbinar-binar dan kecepatan bicaranya bertambah. Selain membicarakan soal wawancara yang telah membuat kami tertawa keras di sore hari itu, kami juga membicarakan teman sekelas kami. Kami tidak membicarakannya di belakang, kami juga sesekali memanggilnya untuk menceritakan lelucon kami tentang dirinya. Kami tertawa lepas. Kami terlihat paling berenergi dikelas. Kami pun sesekali melambai seperti kebanyakan gadis ketika bercanda. (Yaa begitulah, sikap manja para gadis ketika sedang bergurau. Mendorong pundak, lendot sana, lendot sini, kadang memukul pula jika terlampau geli mendengar lelucon.)

Akupun tidak bertanya-tanya lagi.