PERHATIAN!

Perhatian! Blog ini isinya karya fiksi. Semua posting di blog ini adalah hasil rekaan, jika ada kesamaan cerita, nama tokoh dan tempat adalah kesamaan yang tidak disengaja.

Minggu, 08 Maret 2015

Menjadi Dewasa (Draft)

Menjadi dewasa adalah sebuah proses bertahap. Sedikit demi sedikit, kita mulai diberikan kepercayaan untuk bertanggung jawab atas diri kita sendiri. orang dewasa memiliki kebebasan lebih. Anak-anak juga memiliki kebebasan dalam batasan-batasan tertentu, namun anak-anak bergantung pada orang tua atau walinya. Orang dewasa dianggap sudah tidak perlu lagi bergantung pada walinya. Ketika anak-anak, kita membutuhkan tanda tangan orang tua atau wali pada setiap keterlibatan kita terhadap hal-hal administratif. Ketika beranjak dewasa, kita mulai bisa menandatangani sendiri surat-surat tersebut. Kita bisa membuka rekening bank sendiri, membuat surat perjanjian sendiri, mengikuti pemilu, serta bepergian jauh sendiri. Proses tersebut kita dapatkan secara bertahap. Ketika sudah berusia tujuh belas tahun, seorang WNI akan memiliki KTP. Jika ia adalah siswa SLTA, ia dapat mengikuti pemilu jika sedang dilaksanakan pemilu, dapat membuka rekening sendiri, namun ketika pembagian rapor belajar, orang tua atau wali harus tetap hadir. Ketika memasuki perguruan tinggi, orang tua atau wali tidak perlu menghadiri perwalian. Ketika memasuki perguruan tinggi, kepercayaan yang diberikan menjadi lebih banyak.

Ketika seseorang memasuki perguruan tinggi, biasanya seseorang sedang memasuki masa dewasa awal dan mulai meninggalkan masa remaja akhir. Pada masa tersebut, korteks prefrontal biasanya sudah selesai berkembang. Korteks prefrontal merupakan lokasi otak yang meliputi penalaran, pengambilan keputusan, dan kendali diri. Menurut John W. Santrock, “korteks prefrontal belum selesai berkembang hingga dewasa awal, kira-kira pada usia 18 hingga 25 tahun, atau lebih.” (2011) Santrock juga menjelaskan, pada remaja (yang korteks prefrontalnya belum selesai berkembang), amygdala (tempat emosi seperti rasa marah) berkembang lebih awal daripada korteks prefrontal. (2011) Orang dewasa yang korteks prefrontalnya sudah selesai berkembang biasanya memiliki kemampuan mengendalikan emosi yang lebih baik dibanding ketika ia remaja. Meskipun kondisi setiap mahasiswa tidak bisa dipukul rata, namun mahasiswa diharapkan sudah memiliki kendali diri dan kemampuan mengambil keputusan yang lebih baik daripada ketika ia masih menjadi siswa. Hal tersebutlah yang menjadi alasan meningkatnya kepercayaan perguruan tinggi pada mahasiswa untuk bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Dengan meningkatnya kepercayaan lingkungan bahwa kita mampu bertanggung jawab atas diri kita sendiri, seharusnya kita semakin sadar bahwa kita memiliki kebebasan dalam batas-batas tertentu. Menurut Louis Leahy, “Pada umumnya, kata ’kebebasan’ berarti ketiadaan paksaan.” Tidak adanya dorongan yang berlaku pasti seperti jika saya lapar, saya pasti makan. Pada manusia, kondisinya adalah jika saya lapar, saya mungkin akan makan. Kita memiliki kebebasan untuk mengikuti kemauan tubuh atau tidak. Hal yang sama berlaku pada kehendak pihak lain diluar diri kita, dalam batas-batas tertentu kita memiliki kebebasan untuk mengikuti kehendak-kehendak tersebut atau tidak. Kebebasan selalu bersama-sama dengan tanggung jawab. Jika kita bertindak di bawah paksaan pihak tertentu, maka pihak tersebutlah yang bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan tersebut. Ketika tidak ada paksaan, maka kita sendirilah yang bertanggung jawab atas tindakan kita.

Bicara tentang kebebasan, saya mengalami beberapa percakapan terkait hal tersebut dengan teman-teman yang saya temui di perguruan tinggi.
A: Aku tadi pagi kan nonton berita yang soal begal motor sama mama aku. Kata mama aku teh, “Itu orangtuanya ngapain ya?”
B: Iya pasti ada sesuatu di antara orangtuanya sama dia yang bikin dia jadi nggak punya hati begitu.
C: Lingkungan juga.
B: Iya lingkungan ngaruh.
D: Tapi si tukang begalnya juga salah.
B: Iya itu mah pasti.
A: Nggak cuma orang tua sama lingkungannya aja.
C: Iya.

Beberapa hari kemudian, (ini sebenarnya masa lalu tapi masa mo bilang, tiba2 saya teringat masa lalu? Atau gapapa bilang tiba2 saya teringat…) saya bertemu dengan mahasiswa jurusan ilmu kedokteran umum di sekretariat unit kegiatan pencak silat. Di sekretariat tersebut terdapat dispenser dan semacam kantin kejujuran. Terdapat beberapa minuman sachet, kopi bubuk, the celup dan makanan ringan yang disusun rapi di sebelah dispenser. Ada kotak uang di sebelahnya. Kami mengambil sendiri barang yang ingin kami beli, menaruh uang sendiri di kotak uang, serta mengambil uang kembalian sendiri bila perlu.
Saya membuat kopi sendiri hari itu. Saya pun menawarkan kopi tersebut kepada mahasiswa kedokteran yang baru datang ke ruang sekretariat.
D: Mau kopi nggak?
E: Kopi tubruk? Mau. Bikinin dong.
D: Ok. Sepuluh ribu ya? (Sambil membuatkan kopi.)
E: Serebu aja deh.
D: Nih.
E: Manis banget, Jen.
D: Masa?
E: Lo tiap bikin kopi kaya gini?
D: Kopi, teh, takarannya segitu.
E: Nggak kemanisan?
D: Enggak.
E: Ada keturunan diabetes nggak?
D: Pakde, bude, om, tante, pada kena diabetes. Ibu sendiri mah nggak kena diabetes, tapi waktu diperiksa katanya sih rawan kena diabetes juga.
E: Lo sendiri harus ngurangin manis dong kalo gitu?
D: Iya sih, tapi dari kecil udah biasa makan sama minum manis. Lagian juga minuman manis itu bisa ngilangin stress.
E: Gue juga dari kecil udah biasa dikasih makanan yang asin, tapi sekarang makan pake garem yang kata tukang masaknya dikit aja udah keasinan.
D: Kok bisa?
E: Ya dibiasain lah.
D: Kenapa lo ngehindarin asin?
E: Karena gue punya potensi darah tinggi. Keluarga gue pada darah tinggi.
D: Ooo gitu. Tapi lo tiap makan jadi nggak enak dong?
E: Awalnya iya. Tapi pas ngerasa hidup gue jadi lebih sehat dari sebelumnya, gue justru ngerasa nyaman banget. Nggak sering pusing lagi, nggak sering tumbang lagi. Soal makanan nggak enak, kalo udah biasa lama-lama jadi enak kok.

E melatih dirinya untuk tidak menyukai makanan asin untuk kepentingannya sendiri. E mungkin tidak ingin memiliki penyakit yang sama dengan keluarganya setelah melihat ketidaknyamanan yang dialami keluarganya. Akan tetapi, apakah semua anak dari keluarga yang mengidap penyakit hipertensi dan berpotensi mengidap penyakit yang sama akan bertindak seperti E? Saya juga mengenal beberapa teman yang beresiko hipertensi karena orang tuanya mengidap hipertensi namun masih sering memakan makanan asin, bahkan asin menurut saya masih belum asin menurut dia.

Mungkin orang-orang yang meragukan kebebasan manusia dapat berpendapat bahwa E tumbuh di lingkungan yang menjungjung pemikiran: kesehatan harus dijaga agar kita dapat menikmati hidup sehat; sementara teman saya yang lainnya tumbuh di lingkungan yang menjunjung tinggi pemikiran: nikmatilah hidup yang hanya sekali, menghindari makanan tertentu hanya akan menghalangi kita dari menikmati hidup. Akan tetapi, bukankan dalam hidup kita, kita kerap bertemu dengan orang-orang yang pemikirannya bertolak belakang dengan pemikiran kita?

Hal tersebut terjadi pada saya ketika saya bertemu dengan E. Sebelumnya saya meminum minuman manis untuk menikmati hidup. E menawarkan pemikiran baru bahwa kita dapat lebih menikmati hidup jika tubuh kita sehat dan sayapun menerima pemikiran baru tersebut. Lingkungan dapat memberikan pengaruh pada kita, namun kita secara sadar dapat memilih untuk menerima pengaruh tersebut atau tidak.

Ada satu cerita lagi dari sahabat saya. Kali ini mungkin lebih sulit untuk melihat pilihan lain selain dari pilihan yang ia ambil. Seperti tidak ada pilihan lain lagi.
D: Kamu kok bisa semangat banget sih kuliahnya?
S: Aku semangatin diri aku dengan inget-inget masa lalu aku. Jaman SD aku sempet ke sekolah pake sendal karena bapak aku belum punya uang buat beli sepatu. Aku diledekin terus sama temen-temen aku. Pas lulus SD untungnya dapet temen-temen baru, terus keuangan keluarga aku udah lebih baik juga meskipun tetep harus cari tambahan beasiswa. Aku juga jadi semangat cari beasiswa. Pokoknya aku harus lebih baik dari orang tua aku biar anak aku nanti seneng. Sampe sekarang, kalo inget jaman SD aku jadi semangat.

Dengan pengalaman yang menyakitkan, wajar bila seseorang tidak ingin mengalami hal yang sama untuk kedua kalinya. Dengan membaca sekilas kisah S, tentu kita akan berpikir bahwa semua orang yang mengalami nasib seperti S pasti akan memiliki tujuan hidup yang sama dengan S, ingin jadi kaya. Akan tetapi, jika kita merenungi kembali cerita S, dapat diketahui bahwa S sebenarnya menyetujui pemikiran teman-teman SD nya bahwa orang kaya derajatnya lebih tinggi. Tujuan hidup S akan berbeda jika reaksi dari S ketika direndahkan teman-temannya adalah sepatu dan sandal sama saja, tidak ada yang derajatnya lebih tinggi.

Orang yang merasa tindakannya secara total dipengaruhi lingkungan dan keluarga adalah orang yang selalu menyetujui pemikiran-pemikiran keluarga dan lingkungannya. Jika kita mau merenungi pemikiran dari tiap-tiap perbuatan, kita dapat menjadi lebih sadar akan pilihan-pilihan kita. Meskipun agak tidak mungkin jika seseorang selalu menyetujui tiap-tiap pandangan keluarga dan lingkungannya.

Manusia sebagai individu pasti pernah memiliki perbedaan cara pandang akan sesuatu. Hanya saja, manusia yang sudah dewasa sekalipun kerap tidak menyadari kapan ia menyetujui atau kapan ia menolak cara pandang lingkungan serta keluarganya. Orang dewasa bahkan kerap tidak sempat merenungi apa pemikiran di balik sebuah tindakan, apa motivasi di balik sebuah tindakan, apakah ia harus setuju terhadap pemikiran atau motivasi tersebut. Orang dewasa kerap tidak sempat merenungi hal-hal tersebut.

Banyak orang dewasa yang bertindak berdasarkan nilai-nilai yang ia pilih secara tidak sadar. Ibarat bertindak dalam keadaan mabuk. Pemabuk tidak akan berpikir dengan matang sebelum bertindak dan tidak akan menyadari apa dampak jangka panjang dari tindakannya terhadap dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Tidak akan terpikir di benak pemabuk untuk berusaha menjadi sebaik-baiknya manusia.

Padahal, ketika seseorang merenungi hal-hal tersebut, jumlah pilihannya bisa saja bertambah. Sangat disayangkan ketika banyak orang dewasa yang kurang memiliki kesadaran akan kebebasannya, akan keuntungan-keuntungan yang ia dapatkan sebagai orang dewasa.

Kita mempelajari berbagai ilmu pengetahuan agar kita memiliki lebih banyak pilihan dan agar kita bisa memilih dengan lebih bijak lagi. Orang dewasa seharusnya mempelajari banyak ilmu pengetahuan karena orang dewasa biasanya memiliki kondisi fisik dan kemampuan kognitif terbaiknya. Spencer Rathus mengungkapkan, “Phisical development peaks in early adulthood.” (2011) Ketika remaja, tubuh terus bertumbuh dan berkembang, keadaan tersebut memuncak dan selesai pada masa dewasa awal. Rathus juga menambahkan, “As with physical development, people are at the height of their cognitive powers during early adulthood.” (2011)

Jika kesadaran akan kebebasan lebih ditingkatkan lagi, manusia dewasa dapat mempertimbangkan dengan matang apakah ia harus menyetujui cara pandang tertentu atau tidak. Dengan demikian, manusia dewasa dapat memilih dengan lebih bijak serta bertindak lebih bijak sesuai dengan nilai kebaikan yang benar-benar ia percaya.

Meskipun kita tidak bisa mengukur secara pasti sejauh apa kebebasan dan keterbatasan kita, “kita harus tetap berpegang teguh pada apa yang kita yakini benar dan melakukan usaha sebaik mungkin untuk menuju kebaikan tersebut.” (Leahy, 1993)




Kamis, 18 April 2013

"I get a little bit bigger, but then I'll admit I'm just the same as I was..."

"It's Time"

So this is what you meant
When you said that you were spent
And now it's time to build from the bottom of the pit
Right to the top
Don't hold back
Packing my bags and giving the academy a rain check

I don't ever wanna let you down
I don't ever wanna leave this town
'Cause after all
This city never sleeps at night

It's time to begin, isn't it?
I get a little bit bigger, but then I'll admit
I'm just the same as I was
Now don't you understand
That I'm never changing who I am

So this is where you fell
And I am left to sell
The path to heaven runs through miles of clouded hell
Right to the top
Don't look back
Turning the rags and giving the commodities a rain check

I don't ever wanna let you down
I don't ever wanna leave this town
'Cause after all
This city never sleeps at night

It's time to begin, isn't it?
I get a little bit bigger but then I'll admit
I'm just the same as I was
Now don't you understand
That I'm never changing who I am

It's time to begin, isn't it?
I get a little bit bigger, but then I'll admit
I'm just the same as I was
Now don't you understand
That I'm never changing who I am

This road never looked so lonely
This house doesn't burn down slowly
To ashes, to ashes

It's time to begin, isn't it?
I get a little bit bigger, but then I'll admit
I'm just the same as I was
Now don't you understand
That I'm never changing who I am

It's time to begin, isn't it?
I get a little bit bigger, but then I'll admit
I'm just the same as I was
Now don't you understand
That I'm never changing who I am

Rabu, 06 Maret 2013

Gelak Tawa

Kami sedang membicarakan wawancara yang akan kami ikuti sebagai prasyarat memasuki organisasi.
"Iya kayanya aku juga pengen ikut deh."
"Yuk ikut aja." Jawabku.
"Tapi kayanya aku mah versi KW, Jen. Hahaha."
"Hahaha ada-ada aja versi KW, emangnya sepatu."
"Iya paling ntar pas wawancara, tiap ditanya aku jawabnya 'Hehe nggak tau teh, itu apa ya teh, kasih tau dong teh. Hehe hehe.'"
"Hahaha."
Sore itu, dengan hal-hal garing semacam itu kami sudah tertawa geli dan mungkin mengganggu kamar sebelah karena suara kami keras sekali. Kami berbincang selama berjam-jam. Membicarakan berbagai hal konyol. Tiba-tiba aku teringat akan malam itu. Malam dimana aku ikut berkumpul bersama teman-teman kosnya. Malam dimana aku mendengar gelak tawa lepasnya disertai kegilaannya untuk pertama kalinya.

Dia yang tertawa lepas di malam itu adalah teman dekatku. Sebut saja namanya Bunga. Bunga yang kukenal sebelum malam itu adalah Bunga yang tenang, berwibawa, lembut, sopan, santun, dan sangat berhati-hati dalam bicara. Namun di malam itu, di depan teman-teman satu kosnya, dia menunjukkan sisi cacatnya. Meledek teman-temannya, diledek balik, tertawa terbahak-bahak, melontarkan lelucon absurd, mengutarakan hayalan gilanya, semua sisi cacatnya. Akupun bertanya-tanya, mengapa ia tidak pernah seperti itu didepanku. Apa mungkin kami masih kaku? Apa mungkin kami masih belum membuka diri? Apa mungkin kami tidak sedekat kelihatannya? Sepertinya aku menjawab iya untuk semua pertanyaan itu.

Sebelumnya, aku sering kali menceritakan hal-hal yang sangat lucu, namun Bunga hanya memandangiku sambil tersenyum semi melongo. (Ya begitulah, mulut terbuka, gigi atas terlihat namun tidak menempel pada gigi bawah. Lalu mata terlihat datar. Semi melongo kan? Tapi sudut bibir tertarik ke samping atas, jadi bisa dibilang tersenyum juga.) Padahal ada temanku yang tertawa lepas sampai lima detik ditambah gerakan pundak dan tangan yang heboh ketika mendengar cerita itu.

Aku mengingat lagi percakapan kami berdua tentang wawancara di kamarnya yang garing namun membuat kami tertawa keras. Aku bertanya lagi, apakah kami mulai membuka diri.

Pertanyaanku muncul lagi di keesokan harinya, di siang hari tepatnya. Ketika teman-teman lain mengipas-ngipasi wajahnya dengan buku karena kepanasan, ketika teman-teman lain bersandar di sandaran kursi karena lelah maupun ngantuk, Bunga malah mengajakku ngobrol dengan semangat. Matanya berbinar-binar dan kecepatan bicaranya bertambah. Selain membicarakan soal wawancara yang telah membuat kami tertawa keras di sore hari itu, kami juga membicarakan teman sekelas kami. Kami tidak membicarakannya di belakang, kami juga sesekali memanggilnya untuk menceritakan lelucon kami tentang dirinya. Kami tertawa lepas. Kami terlihat paling berenergi dikelas. Kami pun sesekali melambai seperti kebanyakan gadis ketika bercanda. (Yaa begitulah, sikap manja para gadis ketika sedang bergurau. Mendorong pundak, lendot sana, lendot sini, kadang memukul pula jika terlampau geli mendengar lelucon.)

Akupun tidak bertanya-tanya lagi.

Senin, 26 November 2012

Tea, Coffee, and Sugar (synopsis)


Tea, coffee, and sugar are the things introduced by my parents. It has been many years that I always see my father drinks tea in the evening and my mother drinks coffee in the midday. When I was a child, mom used to make two cup of tea. One for dad, another for me. At that time, mom also introduced her taste of tea, including intensity of the flavor and measurement of sugar. After that introduction had transformed into habituation, another introduction happened. Introduction to coffee happened when I have been ready for more caffeine. In the same way with tea, mom’s taste of coffee stuck on my tongue.

Mom always adds four teaspoons of sugar to a cup of tea. Mom will say it’s less sweet, if she tastes a cup of tea with three teaspoons of sugar. It might be not her own taste. Her parents probably also habituated that. Until she moved to her new house, she still brought her standard of sweet. Even until now, she always serves very sweet tea to a guest. It could be acceptable in Yogyakarta. Her neighbors and her friends perhaps have the same standard of sweet. Contrary to them, our neighbors in Jakarta have various tastes. Few neighbors can accept very sweet tea, the others cannot.

Contrary to mom, dad has changed his taste of tea. Mom told me a story that granny used to serve light and less sugar tea (even sometimes without sugar) and dad liked it. Then, he has new family and he didn’t mind to start drinking the opposite taste of tea.
Even when mom is not at home, dad asks me to make dark and sugary tea. I could not understand why he could change his taste. He was born in Tasikmalaya and he grew up in Ciamis. He had tasted light and less sugar tea for many years. How could he change his taste?

Another surprise came when I read granny’s full name on dad’s file. Granny’s name is Raden Roro Sri Kiswati. Granny is Javanese too. Dad also told me that grandpa is also Javanese. Grandpa married granny, moved to Tasikmalaya, and moved again to Ciamis. I guess Javanese woman who lived in Solo was always surrounded by sugary food and drink. It means granny changed her taste since she moved.

That is my family. How about me? Do I have a change of taste? Let’s take a step back. Although mom’s taste stuck on my tongue when I was a child, many places outside my home offered instant tea in the bottle. Every time I ate in a restaurant with my family, I ordered Teh Botol Sostro. It became my favorite drink for several years. Not only in restaurant but also in my friend’s house I drank The Botol Sosro. When I was in Junior High School, there are many group home works. My friend’s parent probably didn’t have time to serve ten cup of tea and serving instant tea could be easier. I saw The Botol Sosro everywhere. I drank it when I went back from school because I used to be exhausted on my way to home. It was also habituation. I also have a change of taste.

The change is not over. I went to Sumedang to get higher education. I cannot buy The Botol Sosro every day, it’s expensive. I go back to loose leaf tea with three spoons of sugar. I do the same measurement of sugar to my cup of coffee until I met my best friend who doesn’t like sugary coffee. My taste changes again.

I drink a cup of tea and a cup of coffee every day. I have my own taste now. Tomorrow, it may be different.

Sabtu, 10 November 2012

Teman Terbaik


“Kamu punya sahabat?”
“Punya, ini fotonya.”
“Loh, perasaan dia nggak sama kamu terus, dia kan supel gitu. Kalo di kelas juga duduknya nggak sama kamu terus. Oh, kalo di luar kelas dia sama kamu terus ya?”
“Nggak juga.”
“Lah, kalo sering pisah mah bukan sahabat lagi dong? Sahabat kan harusnya punya ketertarikan yang sama, terus bareng-bareng terus gitu.”
“Aku nggak tau asal kata ‘sahabat’ itu dari mana, dan arti harfiahnya apa. Aku lebih suka kata best friend daripada sahabat. Best friend berarti teman terbaik. Dan kayaknya buat ngeklaim kalo orang itu teman terbaik, aku nggak perlu konfirmasi dulu. Itu kan penilaian subyektif.”
“Emang kamu nggak sakit hati kalo dia bilang kamu cuma kenalan dia atau Cuma temen sekelas aja?”
“Sakit hati dikit sih paling, tapi ya nggak apa-apa lah, toh itu hak dia buat berpendapat.”
“Iya sih ya.”

Selasa, 30 Oktober 2012

Ojeg Dadakan (Lagi)

Kali ini gue bakalan cerita di blog tanpa teknik narasi cerpen. Gue mau cerita ke lo --iya lo yang lagi baca teks ini-- sebagai orang, mungkin temen, yang kebetulan atau sengaja baca blog gue.

Gue heran campur seneng, ternyata ada, bahkan lumayan agak banyak juga orang yang baca blog gue, padahal dia nggak follow blog gue. Mungkin yang nggak follow blog gue tapi baca blog gue itu dia buka twitter gue atau FB gue kali ya, terus ngeklik link ini, mungkin mereka atau lo agak kepo kali ya. Hehehe, bercanda kok. Kalo yang follow blog gue, mungkin liat di dasbor ada postingan baru, jadi pengen baca, terus baca deh.

Stop, gue tau pikiran lo. "Ini kok nggak nyambung sama judul sih?" "Jadi mana cerita tentang ojegnya?" Haha gitu kan yang di pikiran lo? Terus lo ngomong lagi dalem hati, "Sotoy amat!".

Oke mulai deh ceritanya. Kali ini gue nggak salah ngira pria biasa sebagai tukang ojeg kok, tenang. Dan gue mau cerita sesuatu yang mengandung hikmah (bukan Hikmah temen lo), moral value istilah lainnya mah. Ciyeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee, Jenni bijak ciyeeeeeeeeeeeee. (Eh, ini namanya belum mulai cerita ya? Di paragraf selanjutnya gue mulai deh, janji.)

Jadi waktu itu tu malem-malem, abis ujan, gue mau ke klinik Padjadjaran. Dan malem itu nggak ada ojeg, tapi nggak becek. Dan kebetulan, lo tau apa? Pasti tau? Baca judulnya! Ada bapak-bapak naik motor muncul kira-kira satu sampe dua menit setelah gue celingukan cari ojeg.

Gue nggak mau terlalu husnuzaan kalo itu ojeg sambil nanya, "A, Ojeg ya?". Gue sering salah ngira soalnya. Tapi gue tetep berharap bapak-bapak itu ngacungin telunjuk kirinya sambil bilang "Ojeg Neng?". Ok, gue mikir seketika, gimana caranya tu bapak-bapak mau nanyain atau sekedar negor gue. Tu motor jaraknya 20 meter dan dia lagi jalan ke arah gue. Gue liatin terus aja tuh motor, sambil maju mundurin kepala seolah lagi nyari orang atau nunggu orang.

Dan...binggo! Tu bapak-bapak berenti terus nanya gini, "Dari mana Neng?"
"Saya mau keluar Pak, makanya nyari ojeg tapi nggak ada."
"Mau ke mana gitu?"
"Mau ke gerbang, Pak."
"Oh, hayu atuh sama saya aja."
"Lah, nggak apa-apa Pak?"
"Nggak apa-apa lah, ngojek sekali-kali."

Alhamdulillaah, bapak ini ngebantu banget. Dan gue beruntung, dapet ojeg dan nggak harus nunggu lama. Malem gini, apa lagi abis ujan, biasanya nggak akan ada ojeg, dan jalanan pasti sepi. Padahal gue harus ke klinik, dan kalo bener-bener nggak ada ojeg, gue harus jalan kaki. Beruntung lah gue malem itu.

Yaudah, pas udah nyampe, gue kasih dia uang 5000. Biasanya dari wisma Pedca ke gerbang itu cuma 3000, tapi gue emang pengen ngasih segitu. Terus bapaknya bilang ke satpam gerbang, "Mang, aya tukeran receh teu?"
"Teu aya." Jawab satpam gerbang.
"Yaudah pak nggak usah dikembaliin." Gue nyaut.
"Nggak usah?"
"Nggak usah."
"Neng mau sampe sini aja, apa mau keluar, mau ke mana gitu? Kosan temen?"
"Nggak pak, saya mau ke klinik, tapi mau ke ATM dulu."
"Neng teh di Bale?"
"Bukan Pak, wisma Pedca."
"O, yaudah ya Neng ya."
"Iya Pak."

Sebenernya gue mau ke klinik setelah ke ATM, tapi uang gue di dompet tinggal 5.000 coy. Kasian tu bapak-bapak, sampe klinik padjadjaran cuma gue kasih 5.000. Nanti nggak bisa ngasih uang lebih. Padahal gue dapet keberuntungan, masa nggak memberi tanda terima kasih. Lagi pula bapak ini satpam, jadi dia harus lanjut patroli. (Gue nyadar dia satpam setelah liat celana sama sepatu boat nya, pas gue udah turun dari motor.)

Ok, gue mikir dulu, mau jalan kaki jauh menanjak sampe klinik, atau jalan kaki dikit sampe pangkalan ojeg di sebelah tempat jualan koran? Mending jalan ke pangkalan ojeg deh, soalnya badan lagi nggak fit, nanti pasti capek banget kalo jalan kaki sampe klinik.

Gue sampe di pangkalan ojeg dan banyak dari mereka yang baru turun dari ojeg. Itu artinya, mereka sibuk nganter jemput penumpang. Berarti kalo ngasih 50.000 ada kembalinya lah ya.

Ada bapak-bapak nanya, "Ojeg Neng?"
"Iya Pak."
Dan gue pun naik ke motor. Dan nggak sampe lima menit, nyampe.

"Nih Pak."
"Waduh Neng, nggak ada uang kecil?"
"Nggak ada pak?"
"Uang untuk ngembaliin duit Eneng kurang nih, cuma ada 30.000."
"Saya juga nggak ada uang lagi pak."
"Yah, yaudahlaah enggak apa-apa."
Gue pun shock! Masa ada tukan ojeg --beneran ojeg-- sebaik ini? Gue pun nyari di tas, kali aja ada duit receh.
"Eh ini ada Pak, tapi cuma 2000."
"Yaudah Neng nggak apa-apa."
"Makasih ya Pak."

Ya ampun bapak ini baik banget. Kalo satpam atau orang biasa yang jadi ojeg dadakan wajar lah ya baik, niat awal mereka nganterin gue kan nolong, bukan cari uang. Nah ini, tukang ojeg beneran yang niatnya emang cari uang, bisa berubah seketika jadi nolong.

Semoga bapak tukang ojeg ini masuk surga. Aamiin.

Nah, cerita gue udah selesai. Lo dapet hikmah nggak? Bukan Hikmah temen lo ya. Pesan moral. Dapet nggak? Apa pesan moralnya?"