PERHATIAN!

Perhatian! Blog ini isinya karya fiksi. Semua posting di blog ini adalah hasil rekaan, jika ada kesamaan cerita, nama tokoh dan tempat adalah kesamaan yang tidak disengaja.

Minggu, 08 Maret 2015

Menjadi Dewasa (Draft)

Menjadi dewasa adalah sebuah proses bertahap. Sedikit demi sedikit, kita mulai diberikan kepercayaan untuk bertanggung jawab atas diri kita sendiri. orang dewasa memiliki kebebasan lebih. Anak-anak juga memiliki kebebasan dalam batasan-batasan tertentu, namun anak-anak bergantung pada orang tua atau walinya. Orang dewasa dianggap sudah tidak perlu lagi bergantung pada walinya. Ketika anak-anak, kita membutuhkan tanda tangan orang tua atau wali pada setiap keterlibatan kita terhadap hal-hal administratif. Ketika beranjak dewasa, kita mulai bisa menandatangani sendiri surat-surat tersebut. Kita bisa membuka rekening bank sendiri, membuat surat perjanjian sendiri, mengikuti pemilu, serta bepergian jauh sendiri. Proses tersebut kita dapatkan secara bertahap. Ketika sudah berusia tujuh belas tahun, seorang WNI akan memiliki KTP. Jika ia adalah siswa SLTA, ia dapat mengikuti pemilu jika sedang dilaksanakan pemilu, dapat membuka rekening sendiri, namun ketika pembagian rapor belajar, orang tua atau wali harus tetap hadir. Ketika memasuki perguruan tinggi, orang tua atau wali tidak perlu menghadiri perwalian. Ketika memasuki perguruan tinggi, kepercayaan yang diberikan menjadi lebih banyak.

Ketika seseorang memasuki perguruan tinggi, biasanya seseorang sedang memasuki masa dewasa awal dan mulai meninggalkan masa remaja akhir. Pada masa tersebut, korteks prefrontal biasanya sudah selesai berkembang. Korteks prefrontal merupakan lokasi otak yang meliputi penalaran, pengambilan keputusan, dan kendali diri. Menurut John W. Santrock, “korteks prefrontal belum selesai berkembang hingga dewasa awal, kira-kira pada usia 18 hingga 25 tahun, atau lebih.” (2011) Santrock juga menjelaskan, pada remaja (yang korteks prefrontalnya belum selesai berkembang), amygdala (tempat emosi seperti rasa marah) berkembang lebih awal daripada korteks prefrontal. (2011) Orang dewasa yang korteks prefrontalnya sudah selesai berkembang biasanya memiliki kemampuan mengendalikan emosi yang lebih baik dibanding ketika ia remaja. Meskipun kondisi setiap mahasiswa tidak bisa dipukul rata, namun mahasiswa diharapkan sudah memiliki kendali diri dan kemampuan mengambil keputusan yang lebih baik daripada ketika ia masih menjadi siswa. Hal tersebutlah yang menjadi alasan meningkatnya kepercayaan perguruan tinggi pada mahasiswa untuk bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Dengan meningkatnya kepercayaan lingkungan bahwa kita mampu bertanggung jawab atas diri kita sendiri, seharusnya kita semakin sadar bahwa kita memiliki kebebasan dalam batas-batas tertentu. Menurut Louis Leahy, “Pada umumnya, kata ’kebebasan’ berarti ketiadaan paksaan.” Tidak adanya dorongan yang berlaku pasti seperti jika saya lapar, saya pasti makan. Pada manusia, kondisinya adalah jika saya lapar, saya mungkin akan makan. Kita memiliki kebebasan untuk mengikuti kemauan tubuh atau tidak. Hal yang sama berlaku pada kehendak pihak lain diluar diri kita, dalam batas-batas tertentu kita memiliki kebebasan untuk mengikuti kehendak-kehendak tersebut atau tidak. Kebebasan selalu bersama-sama dengan tanggung jawab. Jika kita bertindak di bawah paksaan pihak tertentu, maka pihak tersebutlah yang bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan tersebut. Ketika tidak ada paksaan, maka kita sendirilah yang bertanggung jawab atas tindakan kita.

Bicara tentang kebebasan, saya mengalami beberapa percakapan terkait hal tersebut dengan teman-teman yang saya temui di perguruan tinggi.
A: Aku tadi pagi kan nonton berita yang soal begal motor sama mama aku. Kata mama aku teh, “Itu orangtuanya ngapain ya?”
B: Iya pasti ada sesuatu di antara orangtuanya sama dia yang bikin dia jadi nggak punya hati begitu.
C: Lingkungan juga.
B: Iya lingkungan ngaruh.
D: Tapi si tukang begalnya juga salah.
B: Iya itu mah pasti.
A: Nggak cuma orang tua sama lingkungannya aja.
C: Iya.

Beberapa hari kemudian, (ini sebenarnya masa lalu tapi masa mo bilang, tiba2 saya teringat masa lalu? Atau gapapa bilang tiba2 saya teringat…) saya bertemu dengan mahasiswa jurusan ilmu kedokteran umum di sekretariat unit kegiatan pencak silat. Di sekretariat tersebut terdapat dispenser dan semacam kantin kejujuran. Terdapat beberapa minuman sachet, kopi bubuk, the celup dan makanan ringan yang disusun rapi di sebelah dispenser. Ada kotak uang di sebelahnya. Kami mengambil sendiri barang yang ingin kami beli, menaruh uang sendiri di kotak uang, serta mengambil uang kembalian sendiri bila perlu.
Saya membuat kopi sendiri hari itu. Saya pun menawarkan kopi tersebut kepada mahasiswa kedokteran yang baru datang ke ruang sekretariat.
D: Mau kopi nggak?
E: Kopi tubruk? Mau. Bikinin dong.
D: Ok. Sepuluh ribu ya? (Sambil membuatkan kopi.)
E: Serebu aja deh.
D: Nih.
E: Manis banget, Jen.
D: Masa?
E: Lo tiap bikin kopi kaya gini?
D: Kopi, teh, takarannya segitu.
E: Nggak kemanisan?
D: Enggak.
E: Ada keturunan diabetes nggak?
D: Pakde, bude, om, tante, pada kena diabetes. Ibu sendiri mah nggak kena diabetes, tapi waktu diperiksa katanya sih rawan kena diabetes juga.
E: Lo sendiri harus ngurangin manis dong kalo gitu?
D: Iya sih, tapi dari kecil udah biasa makan sama minum manis. Lagian juga minuman manis itu bisa ngilangin stress.
E: Gue juga dari kecil udah biasa dikasih makanan yang asin, tapi sekarang makan pake garem yang kata tukang masaknya dikit aja udah keasinan.
D: Kok bisa?
E: Ya dibiasain lah.
D: Kenapa lo ngehindarin asin?
E: Karena gue punya potensi darah tinggi. Keluarga gue pada darah tinggi.
D: Ooo gitu. Tapi lo tiap makan jadi nggak enak dong?
E: Awalnya iya. Tapi pas ngerasa hidup gue jadi lebih sehat dari sebelumnya, gue justru ngerasa nyaman banget. Nggak sering pusing lagi, nggak sering tumbang lagi. Soal makanan nggak enak, kalo udah biasa lama-lama jadi enak kok.

E melatih dirinya untuk tidak menyukai makanan asin untuk kepentingannya sendiri. E mungkin tidak ingin memiliki penyakit yang sama dengan keluarganya setelah melihat ketidaknyamanan yang dialami keluarganya. Akan tetapi, apakah semua anak dari keluarga yang mengidap penyakit hipertensi dan berpotensi mengidap penyakit yang sama akan bertindak seperti E? Saya juga mengenal beberapa teman yang beresiko hipertensi karena orang tuanya mengidap hipertensi namun masih sering memakan makanan asin, bahkan asin menurut saya masih belum asin menurut dia.

Mungkin orang-orang yang meragukan kebebasan manusia dapat berpendapat bahwa E tumbuh di lingkungan yang menjungjung pemikiran: kesehatan harus dijaga agar kita dapat menikmati hidup sehat; sementara teman saya yang lainnya tumbuh di lingkungan yang menjunjung tinggi pemikiran: nikmatilah hidup yang hanya sekali, menghindari makanan tertentu hanya akan menghalangi kita dari menikmati hidup. Akan tetapi, bukankan dalam hidup kita, kita kerap bertemu dengan orang-orang yang pemikirannya bertolak belakang dengan pemikiran kita?

Hal tersebut terjadi pada saya ketika saya bertemu dengan E. Sebelumnya saya meminum minuman manis untuk menikmati hidup. E menawarkan pemikiran baru bahwa kita dapat lebih menikmati hidup jika tubuh kita sehat dan sayapun menerima pemikiran baru tersebut. Lingkungan dapat memberikan pengaruh pada kita, namun kita secara sadar dapat memilih untuk menerima pengaruh tersebut atau tidak.

Ada satu cerita lagi dari sahabat saya. Kali ini mungkin lebih sulit untuk melihat pilihan lain selain dari pilihan yang ia ambil. Seperti tidak ada pilihan lain lagi.
D: Kamu kok bisa semangat banget sih kuliahnya?
S: Aku semangatin diri aku dengan inget-inget masa lalu aku. Jaman SD aku sempet ke sekolah pake sendal karena bapak aku belum punya uang buat beli sepatu. Aku diledekin terus sama temen-temen aku. Pas lulus SD untungnya dapet temen-temen baru, terus keuangan keluarga aku udah lebih baik juga meskipun tetep harus cari tambahan beasiswa. Aku juga jadi semangat cari beasiswa. Pokoknya aku harus lebih baik dari orang tua aku biar anak aku nanti seneng. Sampe sekarang, kalo inget jaman SD aku jadi semangat.

Dengan pengalaman yang menyakitkan, wajar bila seseorang tidak ingin mengalami hal yang sama untuk kedua kalinya. Dengan membaca sekilas kisah S, tentu kita akan berpikir bahwa semua orang yang mengalami nasib seperti S pasti akan memiliki tujuan hidup yang sama dengan S, ingin jadi kaya. Akan tetapi, jika kita merenungi kembali cerita S, dapat diketahui bahwa S sebenarnya menyetujui pemikiran teman-teman SD nya bahwa orang kaya derajatnya lebih tinggi. Tujuan hidup S akan berbeda jika reaksi dari S ketika direndahkan teman-temannya adalah sepatu dan sandal sama saja, tidak ada yang derajatnya lebih tinggi.

Orang yang merasa tindakannya secara total dipengaruhi lingkungan dan keluarga adalah orang yang selalu menyetujui pemikiran-pemikiran keluarga dan lingkungannya. Jika kita mau merenungi pemikiran dari tiap-tiap perbuatan, kita dapat menjadi lebih sadar akan pilihan-pilihan kita. Meskipun agak tidak mungkin jika seseorang selalu menyetujui tiap-tiap pandangan keluarga dan lingkungannya.

Manusia sebagai individu pasti pernah memiliki perbedaan cara pandang akan sesuatu. Hanya saja, manusia yang sudah dewasa sekalipun kerap tidak menyadari kapan ia menyetujui atau kapan ia menolak cara pandang lingkungan serta keluarganya. Orang dewasa bahkan kerap tidak sempat merenungi apa pemikiran di balik sebuah tindakan, apa motivasi di balik sebuah tindakan, apakah ia harus setuju terhadap pemikiran atau motivasi tersebut. Orang dewasa kerap tidak sempat merenungi hal-hal tersebut.

Banyak orang dewasa yang bertindak berdasarkan nilai-nilai yang ia pilih secara tidak sadar. Ibarat bertindak dalam keadaan mabuk. Pemabuk tidak akan berpikir dengan matang sebelum bertindak dan tidak akan menyadari apa dampak jangka panjang dari tindakannya terhadap dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Tidak akan terpikir di benak pemabuk untuk berusaha menjadi sebaik-baiknya manusia.

Padahal, ketika seseorang merenungi hal-hal tersebut, jumlah pilihannya bisa saja bertambah. Sangat disayangkan ketika banyak orang dewasa yang kurang memiliki kesadaran akan kebebasannya, akan keuntungan-keuntungan yang ia dapatkan sebagai orang dewasa.

Kita mempelajari berbagai ilmu pengetahuan agar kita memiliki lebih banyak pilihan dan agar kita bisa memilih dengan lebih bijak lagi. Orang dewasa seharusnya mempelajari banyak ilmu pengetahuan karena orang dewasa biasanya memiliki kondisi fisik dan kemampuan kognitif terbaiknya. Spencer Rathus mengungkapkan, “Phisical development peaks in early adulthood.” (2011) Ketika remaja, tubuh terus bertumbuh dan berkembang, keadaan tersebut memuncak dan selesai pada masa dewasa awal. Rathus juga menambahkan, “As with physical development, people are at the height of their cognitive powers during early adulthood.” (2011)

Jika kesadaran akan kebebasan lebih ditingkatkan lagi, manusia dewasa dapat mempertimbangkan dengan matang apakah ia harus menyetujui cara pandang tertentu atau tidak. Dengan demikian, manusia dewasa dapat memilih dengan lebih bijak serta bertindak lebih bijak sesuai dengan nilai kebaikan yang benar-benar ia percaya.

Meskipun kita tidak bisa mengukur secara pasti sejauh apa kebebasan dan keterbatasan kita, “kita harus tetap berpegang teguh pada apa yang kita yakini benar dan melakukan usaha sebaik mungkin untuk menuju kebaikan tersebut.” (Leahy, 1993)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar