Menjadi dewasa adalah sebuah proses bertahap. Sedikit demi
sedikit, kita mulai diberikan kepercayaan untuk bertanggung jawab atas diri
kita sendiri. orang dewasa memiliki kebebasan lebih. Anak-anak juga memiliki
kebebasan dalam batasan-batasan tertentu, namun anak-anak bergantung pada orang
tua atau walinya. Orang dewasa dianggap sudah tidak perlu lagi bergantung pada
walinya. Ketika anak-anak, kita membutuhkan tanda tangan orang tua atau wali
pada setiap keterlibatan kita terhadap hal-hal administratif. Ketika beranjak dewasa,
kita mulai bisa menandatangani sendiri surat-surat tersebut. Kita bisa membuka
rekening bank sendiri, membuat surat perjanjian sendiri, mengikuti pemilu, serta
bepergian jauh sendiri. Proses tersebut kita dapatkan secara bertahap. Ketika
sudah berusia tujuh belas tahun, seorang WNI akan memiliki KTP. Jika ia adalah
siswa SLTA, ia dapat mengikuti pemilu jika sedang dilaksanakan pemilu, dapat
membuka rekening sendiri, namun ketika pembagian rapor belajar, orang tua atau
wali harus tetap hadir. Ketika memasuki perguruan tinggi, orang tua atau wali
tidak perlu menghadiri perwalian. Ketika memasuki perguruan tinggi, kepercayaan
yang diberikan menjadi lebih banyak.
Ketika seseorang memasuki perguruan tinggi, biasanya
seseorang sedang memasuki masa dewasa awal dan mulai meninggalkan masa remaja
akhir. Pada masa tersebut, korteks prefrontal biasanya sudah selesai
berkembang. Korteks prefrontal merupakan lokasi otak yang meliputi penalaran,
pengambilan keputusan, dan kendali diri. Menurut John W. Santrock, “korteks
prefrontal belum selesai berkembang hingga dewasa awal, kira-kira pada usia 18
hingga 25 tahun, atau lebih.” (2011) Santrock juga menjelaskan, pada remaja
(yang korteks prefrontalnya belum selesai berkembang), amygdala (tempat emosi
seperti rasa marah) berkembang lebih awal daripada korteks prefrontal. (2011) Orang dewasa yang korteks prefrontalnya sudah selesai berkembang biasanya memiliki kemampuan mengendalikan emosi yang lebih baik dibanding ketika ia remaja. Meskipun
kondisi setiap mahasiswa tidak bisa dipukul rata, namun mahasiswa diharapkan
sudah memiliki kendali diri dan kemampuan mengambil keputusan yang lebih baik
daripada ketika ia masih menjadi siswa. Hal tersebutlah yang menjadi alasan
meningkatnya kepercayaan perguruan tinggi pada mahasiswa untuk bertanggung
jawab atas dirinya sendiri.
Dengan meningkatnya kepercayaan lingkungan bahwa kita mampu
bertanggung jawab atas diri kita sendiri, seharusnya kita semakin sadar bahwa
kita memiliki kebebasan dalam batas-batas tertentu. Menurut Louis Leahy, “Pada
umumnya, kata ’kebebasan’ berarti ketiadaan paksaan.” Tidak adanya dorongan
yang berlaku pasti seperti jika saya lapar, saya pasti makan. Pada manusia,
kondisinya adalah jika saya lapar, saya mungkin akan makan. Kita memiliki
kebebasan untuk mengikuti kemauan tubuh atau tidak. Hal yang sama berlaku pada
kehendak pihak lain diluar diri kita, dalam batas-batas tertentu kita memiliki
kebebasan untuk mengikuti kehendak-kehendak tersebut atau tidak. Kebebasan
selalu bersama-sama dengan tanggung jawab. Jika kita bertindak di bawah paksaan
pihak tertentu, maka pihak tersebutlah yang bertanggung jawab atas konsekuensi
dari tindakan tersebut. Ketika tidak ada paksaan, maka kita sendirilah yang
bertanggung jawab atas tindakan kita.
Bicara tentang kebebasan, saya mengalami beberapa percakapan
terkait hal tersebut dengan teman-teman yang saya temui di perguruan tinggi.
A: Aku tadi pagi kan nonton berita yang soal begal motor
sama mama aku. Kata mama aku teh, “Itu orangtuanya ngapain ya?”
B: Iya pasti ada sesuatu di antara orangtuanya sama dia yang
bikin dia jadi nggak punya hati begitu.
C: Lingkungan juga.
B: Iya lingkungan ngaruh.
D: Tapi si tukang begalnya juga salah.
B: Iya itu mah pasti.
A: Nggak cuma orang tua sama lingkungannya aja.
C: Iya.
Beberapa hari kemudian, (ini sebenarnya masa lalu tapi masa
mo bilang, tiba2 saya teringat masa lalu? Atau gapapa bilang tiba2 saya
teringat…) saya bertemu dengan mahasiswa jurusan ilmu kedokteran umum di
sekretariat unit kegiatan pencak silat. Di sekretariat tersebut terdapat
dispenser dan semacam kantin kejujuran. Terdapat beberapa minuman sachet, kopi
bubuk, the celup dan makanan ringan yang disusun rapi di sebelah dispenser. Ada
kotak uang di sebelahnya. Kami mengambil sendiri barang yang ingin kami beli,
menaruh uang sendiri di kotak uang, serta mengambil uang kembalian sendiri bila
perlu.
Saya membuat kopi sendiri hari itu. Saya pun menawarkan kopi
tersebut kepada mahasiswa kedokteran yang baru datang ke ruang sekretariat.
D: Mau kopi nggak?
E: Kopi tubruk? Mau. Bikinin dong.
D: Ok. Sepuluh ribu ya? (Sambil membuatkan kopi.)
E: Serebu aja deh.
D: Nih.
E: Manis banget, Jen.
D: Masa?
D: Masa?
E: Lo tiap bikin kopi kaya gini?
D: Kopi, teh, takarannya segitu.
E: Nggak kemanisan?
D: Enggak.
E: Ada keturunan diabetes nggak?
D: Pakde, bude, om, tante, pada kena diabetes. Ibu sendiri
mah nggak kena diabetes, tapi waktu diperiksa katanya sih rawan kena diabetes
juga.
E: Lo sendiri harus ngurangin manis dong kalo gitu?
D: Iya sih, tapi dari kecil udah biasa makan sama minum
manis. Lagian juga minuman manis itu bisa ngilangin stress.
E: Gue juga dari kecil udah biasa dikasih makanan yang asin,
tapi sekarang makan pake garem yang kata tukang masaknya dikit aja udah
keasinan.
D: Kok bisa?
E: Ya dibiasain lah.
D: Kenapa lo ngehindarin asin?
E: Karena gue punya potensi darah tinggi. Keluarga gue pada
darah tinggi.
D: Ooo gitu. Tapi lo tiap makan jadi nggak enak dong?
E: Awalnya iya. Tapi pas ngerasa hidup gue jadi lebih sehat
dari sebelumnya, gue justru ngerasa nyaman banget. Nggak sering pusing lagi,
nggak sering tumbang lagi. Soal makanan nggak enak, kalo udah biasa lama-lama
jadi enak kok.
E melatih dirinya untuk tidak menyukai makanan asin untuk
kepentingannya sendiri. E mungkin tidak ingin memiliki penyakit yang sama
dengan keluarganya setelah melihat ketidaknyamanan yang dialami keluarganya.
Akan tetapi, apakah semua anak dari keluarga yang mengidap penyakit hipertensi
dan berpotensi mengidap penyakit yang sama akan bertindak seperti E? Saya juga
mengenal beberapa teman yang beresiko hipertensi karena orang tuanya mengidap
hipertensi namun masih sering memakan makanan asin, bahkan asin menurut saya
masih belum asin menurut dia.
Mungkin orang-orang yang meragukan kebebasan manusia dapat
berpendapat bahwa E tumbuh di lingkungan yang menjungjung pemikiran: kesehatan harus dijaga agar kita dapat
menikmati hidup sehat; sementara teman saya yang lainnya tumbuh di lingkungan
yang menjunjung tinggi pemikiran: nikmatilah
hidup yang hanya sekali, menghindari makanan tertentu hanya akan menghalangi
kita dari menikmati hidup. Akan tetapi, bukankan dalam hidup kita, kita
kerap bertemu dengan orang-orang yang pemikirannya bertolak belakang dengan
pemikiran kita?
Hal tersebut terjadi pada saya ketika saya bertemu dengan E.
Sebelumnya saya meminum minuman manis untuk menikmati hidup. E menawarkan
pemikiran baru bahwa kita dapat lebih menikmati
hidup jika tubuh kita sehat dan sayapun menerima pemikiran baru tersebut. Lingkungan
dapat memberikan pengaruh pada kita, namun kita secara sadar dapat memilih
untuk menerima pengaruh tersebut atau tidak.
Ada satu cerita lagi dari sahabat saya. Kali ini mungkin
lebih sulit untuk melihat pilihan lain selain dari pilihan yang ia ambil.
Seperti tidak ada pilihan lain lagi.
D: Kamu kok bisa semangat banget sih kuliahnya?
S: Aku semangatin diri aku dengan inget-inget masa lalu aku.
Jaman SD aku sempet ke sekolah pake sendal karena bapak aku belum punya uang
buat beli sepatu. Aku diledekin terus sama temen-temen aku. Pas lulus SD
untungnya dapet temen-temen baru, terus keuangan keluarga aku udah lebih baik
juga meskipun tetep harus cari tambahan beasiswa. Aku juga jadi semangat cari
beasiswa. Pokoknya aku harus lebih baik dari orang tua aku biar anak aku nanti
seneng. Sampe sekarang, kalo inget jaman SD aku jadi semangat.
Dengan pengalaman yang menyakitkan, wajar bila seseorang
tidak ingin mengalami hal yang sama untuk kedua kalinya. Dengan membaca sekilas
kisah S, tentu kita akan berpikir bahwa semua orang yang mengalami nasib
seperti S pasti akan memiliki tujuan hidup yang sama dengan S, ingin jadi kaya.
Akan tetapi, jika kita merenungi kembali cerita S, dapat diketahui bahwa S
sebenarnya menyetujui pemikiran teman-teman SD nya bahwa orang kaya derajatnya lebih tinggi. Tujuan hidup S akan berbeda
jika reaksi dari S ketika direndahkan teman-temannya adalah sepatu dan sandal sama saja, tidak ada yang
derajatnya lebih tinggi.
Orang yang merasa tindakannya secara total dipengaruhi
lingkungan dan keluarga adalah orang yang selalu menyetujui pemikiran-pemikiran
keluarga dan lingkungannya. Jika kita mau merenungi pemikiran dari tiap-tiap
perbuatan, kita dapat menjadi lebih sadar akan pilihan-pilihan kita. Meskipun agak
tidak mungkin jika seseorang selalu menyetujui tiap-tiap pandangan keluarga dan
lingkungannya.
Manusia sebagai individu pasti pernah memiliki perbedaan
cara pandang akan sesuatu. Hanya saja, manusia yang sudah dewasa sekalipun
kerap tidak menyadari kapan ia menyetujui atau kapan ia menolak cara pandang
lingkungan serta keluarganya. Orang dewasa bahkan kerap tidak sempat merenungi
apa pemikiran di balik sebuah tindakan, apa motivasi di balik sebuah tindakan,
apakah ia harus setuju terhadap pemikiran atau motivasi tersebut. Orang dewasa
kerap tidak sempat merenungi hal-hal tersebut.
Banyak orang dewasa yang bertindak berdasarkan nilai-nilai
yang ia pilih secara tidak sadar. Ibarat bertindak dalam keadaan mabuk. Pemabuk
tidak akan berpikir dengan matang sebelum bertindak dan tidak akan menyadari
apa dampak jangka panjang dari tindakannya terhadap dirinya dan orang-orang di
sekitarnya. Tidak akan terpikir di benak pemabuk untuk berusaha menjadi
sebaik-baiknya manusia.
Padahal, ketika seseorang merenungi hal-hal tersebut, jumlah
pilihannya bisa saja bertambah. Sangat disayangkan ketika banyak orang dewasa
yang kurang memiliki kesadaran akan kebebasannya, akan keuntungan-keuntungan
yang ia dapatkan sebagai orang dewasa.
Kita mempelajari berbagai ilmu pengetahuan agar kita
memiliki lebih banyak pilihan dan agar kita bisa memilih dengan lebih bijak
lagi. Orang dewasa seharusnya mempelajari banyak ilmu pengetahuan karena orang
dewasa biasanya memiliki kondisi fisik dan kemampuan kognitif terbaiknya. Spencer
Rathus mengungkapkan, “Phisical
development peaks in early adulthood.” (2011) Ketika remaja, tubuh terus
bertumbuh dan berkembang, keadaan tersebut memuncak dan selesai pada masa
dewasa awal. Rathus juga menambahkan, “As
with physical development, people are at the height of their cognitive powers
during early adulthood.” (2011)
Jika kesadaran akan kebebasan lebih ditingkatkan lagi, manusia
dewasa dapat mempertimbangkan dengan matang apakah ia harus menyetujui cara
pandang tertentu atau tidak. Dengan demikian, manusia dewasa dapat memilih
dengan lebih bijak serta bertindak lebih bijak sesuai dengan nilai kebaikan
yang benar-benar ia percaya.
Meskipun kita tidak bisa mengukur secara pasti sejauh apa
kebebasan dan keterbatasan kita, “kita harus tetap berpegang teguh pada apa
yang kita yakini benar dan melakukan usaha sebaik mungkin untuk menuju kebaikan
tersebut.” (Leahy, 1993)